KATA PENGANTAR
Rasa puji syukur Alhamdulillah
saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunianya
saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Masalah Sosial dan Media Massa: Dengan
judul Kemiskinan”
Penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi tugas dan nilai mata perkuliahan Sosiologi Komunikasi. Dalam
penulisan makalah ini saya merasa kesulitan, terutama dalam masalah sumber
referensi. tetapi berkat kerja keras akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Namun tiada gading tang tak retak, saya menyadari sepenuhnya bahwa yang
tertuang dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan
pengetahuan, oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun akan
menjadi masukan positif dan sesuatu penghargaan yang sangat baik bagi penulis.
Mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan khususnya pembaca sekalian.
Serang,
23 Mei 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masalah sosial bisa juga diartikan
sebagai sebuah kondisi yang dipandang oleh sejumlah orang dalam masyarakat
sebagai sesuatu yang tidak diharapkan. Kemiskinan, pengangguran, penyebaran
HIV/AIDS, perceraian, kenakalan remaja, misalnya, adalah contoh masalah sosial.
Kerena semua itu merupakan kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan oleh
hampir semua orang. Masalah sosial tertentu mungkin hanya dipandang sebagai
masalah atau kondisi yang tidak menyenangkan oleh sebagian orang saja. Para
perokok tentu saja tidak akan memandang kebiasaan merokok sebagai masalah
sosial. Tetapi, bagi mereka yang tidak merokok, kebiasaan merokok merupakan
masalah sosial karena dipandang membahayakan kesehatan baik bagi perokok aktif
maupun perokok pasif.
Sebuah fenomena dikatakan sebuah
masalah sosial biasanya karena menjadi perhatian publik. Peran media massa
disini sangat penting. Karena media massa seperti Koran, televisi atau radio
merupakan sarana komunikasi yang bisa menjadi ukuran apakah fenomena itu
menjadi perhatian publik atau tidak.
Kemiskinan telah menjadi salah satu
masalah paling serius di belahan dunia manapun. Di Negara maju dan apalagi di
Negara berkembang. Kemiskinan jelas menghambat berbagai aspek kehidupan, tidak
hanya begi kelompok miskin itu sendiri, melainkan juga bagi kelompok kaya.
1.2
Rumusan
Masalah
·
Apa yang di maksud dengan kemiskinan
·
Sebab-sebab terjadinya kemiskinan
1.3
Tujuan
Masalah
·
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
kemiskinan
·
Mengetahui sebab-sebab terjadinya kemiskinan
1.4
Landasan
Teori
·
Teori Kemiskinan, terdiri dari :
1.
Teori Budaya Kemiskinan,
2.
Teori Konflik,
3.
Teori Fungsionalis, dan
4.
Teori Interaksionis
·
Teori Kultivasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Peran
Media Massa
Media massa adalah institusi yang
berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai pelopor perubahan. Ini adalah
paradigm utama media massa. Dalam menjalankan paradigma nya media massa
berperan:
a) Sebagai institusi pencerahan masyarakat,
yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap
saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi
masyarakat yang maju.
b) Selain itu, media massa juga menjadi
media informasi, yaitu media yang setiap saat menjadi media informasi kepada
masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar disampaikan media
massa kepada masyarakat , maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya
akan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula
masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan
informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak
dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang
dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.
c)
Terakhir, media massa sebagai media hiburan.
Sebagai agent of change, media massa
juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong
kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang
dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi
manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga
berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak
peradaban manusia dan masyarkatnya.
2.2
Kemiskinan
Sebagai seorang ibu
yang pernah melahirkan dua putra, saya begitu iba dan terenyuh membaca
‘pemulung melahirkan di bawah pohon’ (Kompas, 15/9). Sumirah (35) adalah potret
manusia miskin yang terbuang. Andai Sumirah lahir dan besar di Negara maju, ia
pasti tidak akan mengalami nasib yang begitu mengenaskan, aitu melahirkan di
bawah pohon. Batin saya begitu terguncang membayangkan betapa penderitaan itu
harus ditanggung seorang diri, melahirkan di tempat umum karena kemiskinannya.
Sungguh sangat memilukan, Indonesiaku, mengapa negaraku tidak bisa menolong
orang-orang miskin… jika Negara tidak bisa menolong mereka, pasti akan terjadi
akumulasi kemiskinan yang semakin dahsyat. Kemiskinan tidak bisa diperangi
dengan ‘menggusur dan mengusir’ mereka dari gubuk-gubuk liar, atau melarang
pemulung masuk ke lokasi pembuangan sampah… Mereka miskin bukan karena malas
bekerja, melainkan mereka ‘dibiarkan’ hidup sengsara… Negara tidak bisa lepas
tanggung jawab sebab setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari Negara.
Mestinya jika pemerintah bisa menegakkan keadilan sosial, kemiskinan akan
semakin berkurang.
(Kompas, 29 September
2006)
Cerita diatas dicuplik dari surat
pembaca berjudul “Pemerintah Tidak Peduli Kemiskinan” yang ditulis seorang ibu
di Semarang. Di Indonesia, kisah getir semacam itu bukan lagi sebiji kasus atau
seonggok potret kesedihan.
Kemiskinan adalah salah satu masalah
sosial yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial. Sejarah munculnya
kebijakan sosial tidak dapat dipisahkan dari hadirnya persoalan kemiskinan di
masyarakat. Kemiskinan adalah masalah sosial yang paling dikenal orang. Bahkan
banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah akar dari masalah sosial.
Kemiskinan mempengaruhi masalah sosial lainnya. Begitu pula sebaliknya,
berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dengan menghabiskan
dana sangat besar. Di Indonesia saja, biaya penanggulangan kemiskinan terus
meningkat dari tahun ke tahun dari sebesar Rp.18 triliun pada tahun 2004,
menjadi Rp.23 triliun pada tahun 2005. Pada tahun 2006, anggaran ini melonjak
hampir dua kali lipat menjadi Rp.42 triliun, dan untuk tahun 2007 dialokasikan
sebesar Rp.51 triliun (suara pembaruan, 2007). Diskusi tentang kemiskinan juga
terus dilakukan dan diseminarkan di hotel-hotel berbintang. Tidak sedikit
konsultan, manager program dan pekerja-pekerja sosial yang terlibat dalam
penanggulangan kemiskinan malah berlimpah kekayaan. Kemiskinan adalah tragedi
sekaligus bisnis kemanusiaan yang berkilauan. Berbagai studi mengenai
kemiskinan telah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini kesepakatan tentang
bagaimana mengartikan kemiskinan masih belum dicapai. Terdapat dua pendekatan
yang digunakan untuk mengartikan kemiskinan, pendekatan absolut dan pendekatan relatif.
(Zastrow, 2000a; Zastrow 2000b; Suharto, 2006b).
2.2.1
Kemiskinan
Absolut
Menurut pendekatan absolut, peran
sejumlah barang dan jasa sangat penting dalam menentukan kesejahteraan individu
atau keluarga. Definisi kemiskinan didasarkan pada cukup tidaknya jumlah uang
yang diperoleh. Dengan begitu, total pendapatan per bulan atau per tahun
biasanya digunakan sebagai indikator garis kemiskinan. Berdasarkan garis
kemiskinan ini, orang miskin kemudian didefinisikan sebagai mereka yang tidak
memiliki pendapatan untuk memenuhi sejumlah minimum kebutuhan hidup, yakni
sejumlah asupan kalori yang diperlukan setiap orang untuk mampu bertahan hidup
(misalnya, 2100 kalori) yang kemudian dikonversikan ke dalam sejumlah uang.
Garis kemiskinan biasanya dibedakan antara pedesaan dan perkotaan serta
disesuaikan setiap tahun dengan tingkat inflasi. Secara umum, garis kemiskinan
pada tahun 2007 di Indonesia adalah sekitar Rp.150.000 per kapita per bulan
(dibulatkan untuk daerah perkotaan dan pedesaan). Sedangkan garis kemiskinan
yang dipergunakan Bank Dunia adalah sebesar $2 per orang perhari. Jika $1 Amerika
disetarakan dengan Rp.9000, maka garis kemiskinannya adalah sekitar Rp. 540.000
per orang perbulan
Isu penting dari pendekatan absolut
adalah belum jelasnya makna kebutuhan minimum. Selain itu, kelemahan pendekatan
absolut adalah mengabaikan kenyataan bahwa kelompok miskin tidak selalu
berhubungan dengan kebutuhan dasar saja, tapi juga tentang bagaimana hubungan
mereka dengan kelompok yang tidak miskin. Ini menunjukan bahwa kemiskinan
bersifat relative, tergantung pada ruang dan waktu.
2.2.2 Kemiskinan Relatif
Berbeda dengan
pendekatan absolut, pendekatan relative menekankan bahwa seseorang dikatakan
sebagai miskin bila pendapatannya berada dibawah pendapatan rata-rata
masyarakat. Contohnya mereka yang berpendapatan seperlima (atau sepuluh atau
seperempatsepuluh) di bawah penduduk lain dianggap sebagai kelompok miskin,
pendekatan ini cenderung menghindari konsep kebutuhan absolut, karena
memberikan penekanan pada perbedaan pendapatan. Menurut pendekatan ini,
kemiskinan disebabkan karena adanya perbedaan pendapatan antara kelompok satu
dengan kelompok yang lainnya atau antara suatu waktu dengan waktu yang lainnya.
Sebagai contoh, penduduk Indonesia
yang saat ini dianggap sebagai kelompok miskin, mungkin tidak akan di cap
miskin bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat di Ethiopia dan Negara
miskin di Afrika atau dibandingkan kehidupan masyarakat pada tahun 1900.
Artinya, kondisi kemiskinan tergantung pada kondisi suatu masyarakat. Seseorang
dapat dianggap miskin atau kaya, tergantung pada lokasi lingkungan sekitar
mereka. Misalnya bila didasarkan pada jumlah pendapatan dan kekayaannya.
Mendefinisikan kemiskinan bukanlah
sekadar hanya ingin mengetahui tentang berapa jumlah rakyat miskin, namun juga
tentang bagaimana menderitanya kehidupan mereka. Berbeda dengan pendekatan
absolut, pendekatan relative ridak mampu menjelaskan fenomena ini. Karena
pendekatan absolut menggunakan garis kemiskinan yang terstandar.
2.3
Penyebab
Kemiskinan
Ada
beberapa kemungkina penyebab kemiskinan, diantaranya tingkat pengangguran yang
tinggi; tingkat kesehatan fisik yang memprihatinkan; keterbatasan fisik atau
mengalami kecacatan; masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi emosi;
keterlambatan perkembangan mental; biaya kesehatan yang sangat tinggi;
ketergantungan alcohol; kecanduan obat-obatan; keluarga dengan jumlah anggota
yang besar; rendahnya tingkat pendidikan; ketidaksesuaian pekerjaan karena
otomatisasi; kurangnya keahlian untuk bekerja; perempuan yang menjadi kepala
keluarga dengan anak-anak yang masih kecil; tidak adanya pendapatan tambahan
bagi mereka yang berpendapatan tetap; diskriminasi rasial; mendapat label ‘eks
napi’ atau ‘gila’; hidup dalam lingkungan yang sulit memperoleh pekerjaan;
perceraian, desersi atau kematian pasangan; perjudian; masalah anggaran dan
kesalahan dalam mengatur pengeluaran; diskriminasi seksual; korban kejahatan;
pemegang prinsip anti-bekerja; menganggur; pekerjaan dengan upah rendah; dan
usia tua.
Daftar
ini masih bisa di perpanjang lagi. Artinya, penyebab kemiskinan sangatlah
banyak dan karenanya dibutuhkan serangkaian kebijakan dan program sosial untuk
mengurangi penyebab kemiskinan. Kemiskinan berkaitan dengan hampir seluruh
masalah sosial, seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan kondisi emosi
seseorang, ketergantungan alcohol, pengangguran, diskriminasi rasial dan
seksual, masalah kesehatan, kejahatan, serta keterlambatan perkembangan mental.
Keterkaitan antara kemiskinan dengan masalah sosial ini sangatlah rumit.
Masalah sosial bisa menjadi penyebab kemiskinan. Namun pada beberapa kasus,
justru kemiskinan yang menjadi penyebab munculnya masalah sosial tersebut.
Kemiskinan memperburuk dampak setiap masalah-masalah sosial tersebut.
2.4
Analisa
Berdasarkan Teori
2.4.1
Teori
Kemiskinan
- Teori
budaya kemiskinan
Pada
beberapa kasus, kemiskinan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya
dalam lingkaran kemiskinan. Mengapa? Beberapa tokoh menjelaskan hal tersebut
dapat terjadi karena adanya ‘kebudayaan kemiskinan’. Oscar Lewis, seorang
antropolog, adalah salah satu tokoh yang melakukan studi dan mengembangkan
teori kemiskinan budaya ini. Lewis meneliti kondisi lingkunan miskin di
berbagai belahan dunia dan berhasil menunjukan bahwa kelompok miskin menjadi
miskin karena gaya hidup mereka dipengaruhi oleh budaya tertentu.
Budaya
kemiskinan berkembang di masyarakat kapitalistik satelah periode keterpurukan
ekonomi yang cukup lama. Keterpurukan ini antara lain disebabkan oleh tingginya
tingkat pengangguran akibat kurangnya keahlian kerja serta rendahnya upah yang
di terima pekerja kala itu. Kondisi ini menciptakan perkembangan tingkah laku
dan nilai yang penuh keputusasaan. Menurut Lewis, individu yang di besarkan
dalam budaya kemiskinan memiliki keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatu telah
di takdirkan (fatalism). Mereka menjadi tergantung, merasa lebih rendah dari
yang lain serta enggan memperbaiki kondisi mereka sendiri. Mereka cenderung
berorientasi pada masa kini tanpa memperhatikan rencana masa depan, serta
bertoleransi tinggi pada segala jenis penyakit fisik.
- Teori
Fungsionalis
Teori
fungsionalis memandang kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-berfungsian
ekonomi. Perkembangan industrialisasi telah menghancurkan system ekonomi.
Contohnya, kelompok yang tidak memiliki keahlian kerja dipaksa melakukan
pekerjaan kasar dengan upah rendah. Ketika tenaga manusia telah di gantikan
oleh mesin dan dan teknologi, mereka ditinggalkan tanpa pekerjaan, tanpa uang
atau keahlian.
Teori
ini juga mencatat bahwa system kesejahteraan yang ditujukan untuk menyelesaikan
masalah kemiskinan memiliki beberapa efek sampingan. Menurut para penganut
fungsionalis, cara terbaik untuk menyelesaikan masalah kemiskinan adalah dengan
melakukan penyesuaian untuk memperbaiki ketidak-berfungsian tersebut. Selama
ini kelompok miskin hanya menikmati sedikit hasil dari pertumbuhan ekonomi
serta tidak memperoleh penghargaan sosial dari masyarakat karena status mereka
yang berada di lapisan paling bawah dalam stratifikasi sosial.
- Teori
Konflik
Teori
ini memandang bahwa masyarakat modern memiliki begitu banyak kemakmuran. Karenanya,
kemiskinan ada karena struktur kekuatan menginginkannya untuk ada. Mereka
memandang bahwa kelompok pekerja miskin telah dieksploitasi serta di bayar
dengan upah yang rendah agar kelompok kaya dapat memperoleh keuntungan yang
lebih besar dan hidup lebih makmur.
Menurut
teori ini, kelompok kaya memegang teguh prinsip individualism. Mereka memandang
pengangguran dan kemiskinan bukan sebagai bentuk ketidakadilan atau kondisi di
luar control seseorang, melainkan disebabkan oleh kurangnya usaha seseorang untuk
memperbaiki nasibnya sendiri. Sebagai hasilnya, kelompok kaya tidak tertarik
untuk mengembangkan pendekatan ekonomi dan politik untuk mengatasi kemiskinan.
Mereka lebih tertarik terlibat dalam usaha amal untuk membantu kelompok miskin.
Dengan ini mereka merasa telah melakukan “hal yang sangat terpuji”
Menurut
perspektif ini, kemiskinan menjadi masalah sosial ketika beberapa kelompok
memandang distribusi sumber daya yang ada saat ini di rasa tidak adil, dan
mereka harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi tersebut. Para tokoh
dari perspektif ini percaya bahwa kemiskinan dapat di hilangkan dengan cara
melibatkan kelompok miskin untuk mengurangi ketidakadilan. Kemiskinan dapat di
kurangi secara signifikan melalui kegiatan politik yang melibatkan kelompok
miskin dan mendapat beberapa dukungan dari kelompok kaya. Orang miskin biasanya
memandang kemiskinannya sebagai nasib yang tidak bisa di rubah. Mereka
seakan-akan ‘menerima’ dan ‘menyesuaikan diri’ dengan kondisi kemiskinannya.
Perspektif ini melihat penyesuaian kelompok miskin tehadap kemiskinan merupakan
mata rantai yang harus diputus.
- Teori
Interkasionis
Penganut
perspektif interaksionis memandang kemiskinan sebagai masalah pembagian
harapan. Kelompok miskin memperoleh penialaian negatif dari kelompok
berpengaruh. Mereka yang menjadi obyek labeling tersebut mencap dirinya
negative dan mulai berlaku sama dengan harapan orang lain terhadap mereka.
Kelompok ini percaya bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah pengambilan hak
ekonomi melainkan juga masalah konsep diri seorang individu. Sebagai contoh,
seorang pekerja yang dahulu pernah menerima bantuan kesejahteraan dari
pemerintah akan melihat dirinya lebih negative daripada rekan pekerja nya yang
berusaha sendiri untuk dapat bekerja di tempat tersebut, walaupun pendapatan
mereka sama.
Untuk
menyelesaikan masalah kemiskinan, kelompok ini mendesak agar stigma dan
pandangan negative yang di hubungkan dengan kemiskinan segera di hilangkan.
Perubahan positif dalam maslah kemiskinan tidak akan terjadi hingga kelompok
miskin di yakinkan bahwa mereka tidak selamanya hidup dalam kemiskinan. Masalah
kemiskinan dapat di atasi melalui program bantuan sosial yang di kombinasikan
dengan pemberian kesempatan bagi kelompok miskin untuk memperbaiki kondisi
ekonomi mereka, serta program yang mendorong kelompok miskin untuk meredefinisi
lingkungan sosial mereka secara lebih positif.
Teori
ini juga menekankan pada dampak psikologis yang di hadapi kelompok miskin
ketika bersentuhan dengan masyarakat yang mayoritas kaya. Setelah membandingkan
kondisi mereka dengan kelompok kaya, sebagian dari kelompok miskin meyakini
bahwa mereka telah gagal sehingga mereka membatasi diri mereka dan bukan
berjuang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan identitas ‘gagal’
yang mereka sandang ini, mereka mulai menarik diri dari masyarakat, tenggelam
dalam masalah emosional akibat persepsi yang mereka buat sendiri. Mereka
seringkali menggunakan narkoba sebagai jalan keluar atas permasalahan hidup
mereka atau melakukan pencurian dan tindak kriminalitas lainnya untuk
memperoleh barang-barang yang tidak mungkin mereka peroleh secara legal.
2.4.2
Teori
Kultivasi
Diantara
teori-teori mengenai efek jangka panjang, hipotesis dari Gerbner (1973)
barangkali merupakan yang di dokumentasikan dengan yang paling baik dan paling
banyak di teliti (lihat Signorielli dan Morgan, 1990). Teori ini menyatakan
bahwa televisi, diantara media modern lainnya telah mendapatkan tempat yang
utama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendominasi ‘lingkungan simbolik’ kita,
menggantikan pesan (yang terdistorsi) mengenai realitas untuk pengalaman
pribadi dan alat lain untuk mengetahui mengenai dunia.
Teori kultivasi
di katakan berbeda dari proses efek stimulus-respons yang langsung, terutama
karena karakternya yang lambat dan komunikatif. Teori ini melibatkan, pertama
adalah pembelajaran, dan kedua, pembentukan pandangan akan realitas sosial
tergantung pada keadaan dan pengalaman pribadi.
Sebagai contoh,
program televisi yang di kategorikan dalam reality show, sebut saja Program
“Jika Aku Menjadi…”. Ada dua tokoh yang berganti-ganti dalam penayangan di
setiap episode nya. Tokoh pertama adalah masyarakat biasa yang bisa kita
kelompokan dalam kelompok miskin dengan penghasilan yang di bilang rendah dan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tokoh kedua adalah mahasiswa
atau karyawan yang kehidupannya berbalik dengan tokoh utama. Tokoh ini lebih
terpelajar dan mampu secara ekonomi. Alur yang diceritakan setiap episode pun
sama yakni menampilkan kehidupan tokoh pertama terutama dalam hal pekerjaan nya
mencari penghasilan dan mencari sesuap nasi untuk di bawa pulang. Tokoh kedua
sebagai obyek yang lebih tinggi kehidupannya di paksa berbaur, mengikuti dan
mencoba pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan tokoh pertama yang cukup rumit dan
sulit rintangannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan analisis diatas, dapatlah disimpulkan bahwa masalah
sosial dapat diartikan sebagai sebuah kondisi yang dipandang oleh sejumlah
orang dalam masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diharapkan.
Keterkaitan
antara kemiskinan dengan masalah sosial ini sangatlah rumit. Masalah sosial
bisa menjadi penyebab kemiskinan. Namun pada beberapa kasus, justru kemiskinan
yang menjadi penyebab munculnya masalah sosial tersebut. Kemiskinan memperburuk
dampak setiap masalah-masalah sosial lainnya.
Dalam
pembahasan yang mendalam akan sejumlah studi mengenai pembentukan realitas oleh
televisi, Hawkins dan Pingree (1893) menemukan banyak indikasi yang tersebar
mengenai hubungan yang telah di perkirakan, tetapi tidak ada bukti yang
menyimpulkan arah dari hubungan antara menonton televisi dengan gagasan
mengenai realitas sosial. Mereka mengatakan bahwa televisi dapat mengajari
mengenai realitas sosial dan bahwa hubungan antara penonton dan realitas sosial
dapat timbal-balik: menonton televisi menyebabkan realitas sosial di bentuk
dalam cara tertentu, tetapi konstruksi realitas ini juga membentuk perilaku
menonton. Dalam pembahasan yang mendalam baru-baru ini mengenai penelitian
kultivasi, Morgan dan Shanahan (1997) menarik kesimpulan bahwa efek kultivasi
memang terjadi, tetapi rata-ratanya cukup kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Edi Suharto, 2008. “Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik”. Bandung: Alfabeta
Burhan
Bungin, 2011. Sosiologi Komunikasi:
Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta:
Kencana
Denis
McQuail, 2011. “Teori Komunikasi Massa”
Edisi 6 – Buku 2, Jakarta: Salemba Humanika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar