Minggu, 08 Juni 2014

Makalah Media Massa & Kemiskinan


KATA PENGANTAR



Rasa puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Masalah Sosial dan Media Massa: Dengan judul Kemiskinan
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan nilai mata perkuliahan Sosiologi Komunikasi. Dalam penulisan makalah ini saya merasa kesulitan, terutama dalam masalah sumber referensi. tetapi berkat kerja keras akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Namun tiada gading tang tak retak, saya menyadari sepenuhnya bahwa yang tertuang dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan pengetahuan, oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun akan menjadi masukan positif dan sesuatu penghargaan yang sangat baik bagi penulis.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis dan khususnya pembaca sekalian.




                                                                                                Serang, 23 Mei 2014



Penulis





DAFTAR ISI





 


BAB I

PENDAHULUAN



1.1            Latar Belakang

Masalah sosial bisa juga diartikan sebagai sebuah kondisi yang dipandang oleh sejumlah orang dalam masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diharapkan. Kemiskinan, pengangguran, penyebaran HIV/AIDS, perceraian, kenakalan remaja, misalnya, adalah contoh masalah sosial. Kerena semua itu merupakan kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan oleh hampir semua orang. Masalah sosial tertentu mungkin hanya dipandang sebagai masalah atau kondisi yang tidak menyenangkan oleh sebagian orang saja. Para perokok tentu saja tidak akan memandang kebiasaan merokok sebagai masalah sosial. Tetapi, bagi mereka yang tidak merokok, kebiasaan merokok merupakan masalah sosial karena dipandang membahayakan kesehatan baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif.

Sebuah fenomena dikatakan sebuah masalah sosial biasanya karena menjadi perhatian publik. Peran media massa disini sangat penting. Karena media massa seperti Koran, televisi atau radio merupakan sarana komunikasi yang bisa menjadi ukuran apakah fenomena itu menjadi perhatian publik atau tidak.

Kemiskinan telah menjadi salah satu masalah paling serius di belahan dunia manapun. Di Negara maju dan apalagi di Negara berkembang. Kemiskinan jelas menghambat berbagai aspek kehidupan, tidak hanya begi kelompok miskin itu sendiri, melainkan juga bagi kelompok kaya.



1.2            Rumusan Masalah

·         Apa yang di maksud dengan kemiskinan
·         Sebab-sebab terjadinya kemiskinan

1.3            Tujuan Masalah

·         Mengetahui apa yang dimaksud dengan kemiskinan
·         Mengetahui sebab-sebab terjadinya kemiskinan

1.4            Landasan Teori

·         Teori Kemiskinan, terdiri dari :
1.                  Teori Budaya Kemiskinan,
2.                  Teori Konflik,
3.                  Teori Fungsionalis, dan
4.                  Teori Interaksionis
·         Teori Kultivasi












BAB II

PEMBAHASAN



2.1           Peran Media Massa



Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai pelopor perubahan. Ini adalah paradigm utama media massa. Dalam menjalankan paradigma nya media massa berperan:
a)     Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.
b)     Selain itu, media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menjadi media informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat , maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya akan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.
c)      Terakhir, media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarkatnya.

2.2           Kemiskinan

Sebagai seorang ibu yang pernah melahirkan dua putra, saya begitu iba dan terenyuh membaca ‘pemulung melahirkan di bawah pohon’ (Kompas, 15/9). Sumirah (35) adalah potret manusia miskin yang terbuang. Andai Sumirah lahir dan besar di Negara maju, ia pasti tidak akan mengalami nasib yang begitu mengenaskan, aitu melahirkan di bawah pohon. Batin saya begitu terguncang membayangkan betapa penderitaan itu harus ditanggung seorang diri, melahirkan di tempat umum karena kemiskinannya. Sungguh sangat memilukan, Indonesiaku, mengapa negaraku tidak bisa menolong orang-orang miskin… jika Negara tidak bisa menolong mereka, pasti akan terjadi akumulasi kemiskinan yang semakin dahsyat. Kemiskinan tidak bisa diperangi dengan ‘menggusur dan mengusir’ mereka dari gubuk-gubuk liar, atau melarang pemulung masuk ke lokasi pembuangan sampah… Mereka miskin bukan karena malas bekerja, melainkan mereka ‘dibiarkan’ hidup sengsara… Negara tidak bisa lepas tanggung jawab sebab setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari Negara. Mestinya jika pemerintah bisa menegakkan keadilan sosial, kemiskinan akan semakin berkurang.
(Kompas, 29 September 2006)

Cerita diatas dicuplik dari surat pembaca berjudul “Pemerintah Tidak Peduli Kemiskinan” yang ditulis seorang ibu di Semarang. Di Indonesia, kisah getir semacam itu bukan lagi sebiji kasus atau seonggok potret kesedihan.
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial. Sejarah munculnya kebijakan sosial tidak dapat dipisahkan dari hadirnya persoalan kemiskinan di masyarakat. Kemiskinan adalah masalah sosial yang paling dikenal orang. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah akar dari masalah sosial. Kemiskinan mempengaruhi masalah sosial lainnya. Begitu pula sebaliknya, berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dengan menghabiskan dana sangat besar. Di Indonesia saja, biaya penanggulangan kemiskinan terus meningkat dari tahun ke tahun dari sebesar Rp.18 triliun pada tahun 2004, menjadi Rp.23 triliun pada tahun 2005. Pada tahun 2006, anggaran ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp.42 triliun, dan untuk tahun 2007 dialokasikan sebesar Rp.51 triliun (suara pembaruan, 2007). Diskusi tentang kemiskinan juga terus dilakukan dan diseminarkan di hotel-hotel berbintang. Tidak sedikit konsultan, manager program dan pekerja-pekerja sosial yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan malah berlimpah kekayaan. Kemiskinan adalah tragedi sekaligus bisnis kemanusiaan yang berkilauan. Berbagai studi mengenai kemiskinan telah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini kesepakatan tentang bagaimana mengartikan kemiskinan masih belum dicapai. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengartikan kemiskinan, pendekatan absolut dan pendekatan relatif. (Zastrow, 2000a; Zastrow 2000b; Suharto, 2006b).

2.2.1        Kemiskinan Absolut


Menurut pendekatan absolut, peran sejumlah barang dan jasa sangat penting dalam menentukan kesejahteraan individu atau keluarga. Definisi kemiskinan didasarkan pada cukup tidaknya jumlah uang yang diperoleh. Dengan begitu, total pendapatan per bulan atau per tahun biasanya digunakan sebagai indikator garis kemiskinan. Berdasarkan garis kemiskinan ini, orang miskin kemudian didefinisikan sebagai mereka yang tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi sejumlah minimum kebutuhan hidup, yakni sejumlah asupan kalori yang diperlukan setiap orang untuk mampu bertahan hidup (misalnya, 2100 kalori) yang kemudian dikonversikan ke dalam sejumlah uang. Garis kemiskinan biasanya dibedakan antara pedesaan dan perkotaan serta disesuaikan setiap tahun dengan tingkat inflasi. Secara umum, garis kemiskinan pada tahun 2007 di Indonesia adalah sekitar Rp.150.000 per kapita per bulan (dibulatkan untuk daerah perkotaan dan pedesaan). Sedangkan garis kemiskinan yang dipergunakan Bank Dunia adalah sebesar $2 per orang perhari. Jika $1 Amerika disetarakan dengan Rp.9000, maka garis kemiskinannya adalah sekitar Rp. 540.000 per orang perbulan
Isu penting dari pendekatan absolut adalah belum jelasnya makna kebutuhan minimum. Selain itu, kelemahan pendekatan absolut adalah mengabaikan kenyataan bahwa kelompok miskin tidak selalu berhubungan dengan kebutuhan dasar saja, tapi juga tentang bagaimana hubungan mereka dengan kelompok yang tidak miskin. Ini menunjukan bahwa kemiskinan bersifat relative, tergantung pada ruang dan waktu.

2.2.2    Kemiskinan Relatif


          Berbeda dengan pendekatan absolut, pendekatan relative menekankan bahwa seseorang dikatakan sebagai miskin bila pendapatannya berada dibawah pendapatan rata-rata masyarakat. Contohnya mereka yang berpendapatan seperlima (atau sepuluh atau seperempatsepuluh) di bawah penduduk lain dianggap sebagai kelompok miskin, pendekatan ini cenderung menghindari konsep kebutuhan absolut, karena memberikan penekanan pada perbedaan pendapatan. Menurut pendekatan ini, kemiskinan disebabkan karena adanya perbedaan pendapatan antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya atau antara suatu waktu dengan waktu yang lainnya.

           Sebagai contoh, penduduk Indonesia yang saat ini dianggap sebagai kelompok miskin, mungkin tidak akan di cap miskin bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat di Ethiopia dan Negara miskin di Afrika atau dibandingkan kehidupan masyarakat pada tahun 1900. Artinya, kondisi kemiskinan tergantung pada kondisi suatu masyarakat. Seseorang dapat dianggap miskin atau kaya, tergantung pada lokasi lingkungan sekitar mereka. Misalnya bila didasarkan pada jumlah pendapatan dan kekayaannya.
        Mendefinisikan kemiskinan bukanlah sekadar hanya ingin mengetahui tentang berapa jumlah rakyat miskin, namun juga tentang bagaimana menderitanya kehidupan mereka. Berbeda dengan pendekatan absolut, pendekatan relative ridak mampu menjelaskan fenomena ini. Karena pendekatan absolut menggunakan garis kemiskinan yang terstandar.

2.3           Penyebab Kemiskinan


Ada beberapa kemungkina penyebab kemiskinan, diantaranya tingkat pengangguran yang tinggi; tingkat kesehatan fisik yang memprihatinkan; keterbatasan fisik atau mengalami kecacatan; masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi emosi; keterlambatan perkembangan mental; biaya kesehatan yang sangat tinggi; ketergantungan alcohol; kecanduan obat-obatan; keluarga dengan jumlah anggota yang besar; rendahnya tingkat pendidikan; ketidaksesuaian pekerjaan karena otomatisasi; kurangnya keahlian untuk bekerja; perempuan yang menjadi kepala keluarga dengan anak-anak yang masih kecil; tidak adanya pendapatan tambahan bagi mereka yang berpendapatan tetap; diskriminasi rasial; mendapat label ‘eks napi’ atau ‘gila’; hidup dalam lingkungan yang sulit memperoleh pekerjaan; perceraian, desersi atau kematian pasangan; perjudian; masalah anggaran dan kesalahan dalam mengatur pengeluaran; diskriminasi seksual; korban kejahatan; pemegang prinsip anti-bekerja; menganggur; pekerjaan dengan upah rendah; dan usia tua.


Daftar ini masih bisa di perpanjang lagi. Artinya, penyebab kemiskinan sangatlah banyak dan karenanya dibutuhkan serangkaian kebijakan dan program sosial untuk mengurangi penyebab kemiskinan. Kemiskinan berkaitan dengan hampir seluruh masalah sosial, seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan kondisi emosi seseorang, ketergantungan alcohol, pengangguran, diskriminasi rasial dan seksual, masalah kesehatan, kejahatan, serta keterlambatan perkembangan mental. Keterkaitan antara kemiskinan dengan masalah sosial ini sangatlah rumit. Masalah sosial bisa menjadi penyebab kemiskinan. Namun pada beberapa kasus, justru kemiskinan yang menjadi penyebab munculnya masalah sosial tersebut. Kemiskinan memperburuk dampak setiap masalah-masalah sosial tersebut.

2.4           Analisa Berdasarkan Teori


2.4.1        Teori Kemiskinan


  1. Teori budaya kemiskinan
Pada beberapa kasus, kemiskinan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam lingkaran kemiskinan. Mengapa? Beberapa tokoh menjelaskan hal tersebut dapat terjadi karena adanya ‘kebudayaan kemiskinan’. Oscar Lewis, seorang antropolog, adalah salah satu tokoh yang melakukan studi dan mengembangkan teori kemiskinan budaya ini. Lewis meneliti kondisi lingkunan miskin di berbagai belahan dunia dan berhasil menunjukan bahwa kelompok miskin menjadi miskin karena gaya hidup mereka dipengaruhi oleh budaya tertentu.

Budaya kemiskinan berkembang di masyarakat kapitalistik satelah periode keterpurukan ekonomi yang cukup lama. Keterpurukan ini antara lain disebabkan oleh tingginya tingkat pengangguran akibat kurangnya keahlian kerja serta rendahnya upah yang di terima pekerja kala itu. Kondisi ini menciptakan perkembangan tingkah laku dan nilai yang penuh keputusasaan. Menurut Lewis, individu yang di besarkan dalam budaya kemiskinan memiliki keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatu telah di takdirkan (fatalism). Mereka menjadi tergantung, merasa lebih rendah dari yang lain serta enggan memperbaiki kondisi mereka sendiri. Mereka cenderung berorientasi pada masa kini tanpa memperhatikan rencana masa depan, serta bertoleransi tinggi pada segala jenis penyakit fisik.

  1. Teori Fungsionalis
Teori fungsionalis memandang kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-berfungsian ekonomi. Perkembangan industrialisasi telah menghancurkan system ekonomi. Contohnya, kelompok yang tidak memiliki keahlian kerja dipaksa melakukan pekerjaan kasar dengan upah rendah. Ketika tenaga manusia telah di gantikan oleh mesin dan dan teknologi, mereka ditinggalkan tanpa pekerjaan, tanpa uang atau keahlian.

Teori ini juga mencatat bahwa system kesejahteraan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan memiliki beberapa efek sampingan. Menurut para penganut fungsionalis, cara terbaik untuk menyelesaikan masalah kemiskinan adalah dengan melakukan penyesuaian untuk memperbaiki ketidak-berfungsian tersebut. Selama ini kelompok miskin hanya menikmati sedikit hasil dari pertumbuhan ekonomi serta tidak memperoleh penghargaan sosial dari masyarakat karena status mereka yang berada di lapisan paling bawah dalam stratifikasi sosial.

  1. Teori Konflik
Teori ini memandang bahwa masyarakat modern memiliki begitu banyak kemakmuran. Karenanya, kemiskinan ada karena struktur kekuatan menginginkannya untuk ada. Mereka memandang bahwa kelompok pekerja miskin telah dieksploitasi serta di bayar dengan upah yang rendah agar kelompok kaya dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dan hidup lebih makmur.

Menurut teori ini, kelompok kaya memegang teguh prinsip individualism. Mereka memandang pengangguran dan kemiskinan bukan sebagai bentuk ketidakadilan atau kondisi di luar control seseorang, melainkan disebabkan oleh kurangnya usaha seseorang untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Sebagai hasilnya, kelompok kaya tidak tertarik untuk mengembangkan pendekatan ekonomi dan politik untuk mengatasi kemiskinan. Mereka lebih tertarik terlibat dalam usaha amal untuk membantu kelompok miskin. Dengan ini mereka merasa telah melakukan “hal yang sangat terpuji”

Menurut perspektif ini, kemiskinan menjadi masalah sosial ketika beberapa kelompok memandang distribusi sumber daya yang ada saat ini di rasa tidak adil, dan mereka harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi tersebut. Para tokoh dari perspektif ini percaya bahwa kemiskinan dapat di hilangkan dengan cara melibatkan kelompok miskin untuk mengurangi ketidakadilan. Kemiskinan dapat di kurangi secara signifikan melalui kegiatan politik yang melibatkan kelompok miskin dan mendapat beberapa dukungan dari kelompok kaya. Orang miskin biasanya memandang kemiskinannya sebagai nasib yang tidak bisa di rubah. Mereka seakan-akan ‘menerima’ dan ‘menyesuaikan diri’ dengan kondisi kemiskinannya. Perspektif ini melihat penyesuaian kelompok miskin tehadap kemiskinan merupakan mata rantai yang harus diputus.

  1. Teori Interkasionis
Penganut perspektif interaksionis memandang kemiskinan sebagai masalah pembagian harapan. Kelompok miskin memperoleh penialaian negatif dari kelompok berpengaruh. Mereka yang menjadi obyek labeling tersebut mencap dirinya negative dan mulai berlaku sama dengan harapan orang lain terhadap mereka. Kelompok ini percaya bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah pengambilan hak ekonomi melainkan juga masalah konsep diri seorang individu. Sebagai contoh, seorang pekerja yang dahulu pernah menerima bantuan kesejahteraan dari pemerintah akan melihat dirinya lebih negative daripada rekan pekerja nya yang berusaha sendiri untuk dapat bekerja di tempat tersebut, walaupun pendapatan mereka sama.


Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, kelompok ini mendesak agar stigma dan pandangan negative yang di hubungkan dengan kemiskinan segera di hilangkan. Perubahan positif dalam maslah kemiskinan tidak akan terjadi hingga kelompok miskin di yakinkan bahwa mereka tidak selamanya hidup dalam kemiskinan. Masalah kemiskinan dapat di atasi melalui program bantuan sosial yang di kombinasikan dengan pemberian kesempatan bagi kelompok miskin untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka, serta program yang mendorong kelompok miskin untuk meredefinisi lingkungan sosial mereka secara lebih positif.

Teori ini juga menekankan pada dampak psikologis yang di hadapi kelompok miskin ketika bersentuhan dengan masyarakat yang mayoritas kaya. Setelah membandingkan kondisi mereka dengan kelompok kaya, sebagian dari kelompok miskin meyakini bahwa mereka telah gagal sehingga mereka membatasi diri mereka dan bukan berjuang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan identitas ‘gagal’ yang mereka sandang ini, mereka mulai menarik diri dari masyarakat, tenggelam dalam masalah emosional akibat persepsi yang mereka buat sendiri. Mereka seringkali menggunakan narkoba sebagai jalan keluar atas permasalahan hidup mereka atau melakukan pencurian dan tindak kriminalitas lainnya untuk memperoleh barang-barang yang tidak mungkin mereka peroleh secara legal.

2.4.2        Teori Kultivasi


Diantara teori-teori mengenai efek jangka panjang, hipotesis dari Gerbner (1973) barangkali merupakan yang di dokumentasikan dengan yang paling baik dan paling banyak di teliti (lihat Signorielli dan Morgan, 1990). Teori ini menyatakan bahwa televisi, diantara media modern lainnya telah mendapatkan tempat yang utama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendominasi ‘lingkungan simbolik’ kita, menggantikan pesan (yang terdistorsi) mengenai realitas untuk pengalaman pribadi dan alat lain untuk mengetahui mengenai dunia.
Teori kultivasi di katakan berbeda dari proses efek stimulus-respons yang langsung, terutama karena karakternya yang lambat dan komunikatif. Teori ini melibatkan, pertama adalah pembelajaran, dan kedua, pembentukan pandangan akan realitas sosial tergantung pada keadaan dan pengalaman pribadi.
Sebagai contoh, program televisi yang di kategorikan dalam reality show, sebut saja Program “Jika Aku Menjadi…”. Ada dua tokoh yang berganti-ganti dalam penayangan di setiap episode nya. Tokoh pertama adalah masyarakat biasa yang bisa kita kelompokan dalam kelompok miskin dengan penghasilan yang di bilang rendah dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tokoh kedua adalah mahasiswa atau karyawan yang kehidupannya berbalik dengan tokoh utama. Tokoh ini lebih terpelajar dan mampu secara ekonomi. Alur yang diceritakan setiap episode pun sama yakni menampilkan kehidupan tokoh pertama terutama dalam hal pekerjaan nya mencari penghasilan dan mencari sesuap nasi untuk di bawa pulang. Tokoh kedua sebagai obyek yang lebih tinggi kehidupannya di paksa berbaur, mengikuti dan mencoba pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan tokoh pertama yang cukup rumit dan sulit rintangannya.





 

 

 




BAB III

PENUTUP



3.1     Kesimpulan

Dari paparan analisis diatas, dapatlah disimpulkan bahwa masalah sosial dapat diartikan sebagai sebuah kondisi yang dipandang oleh sejumlah orang dalam masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diharapkan.
Keterkaitan antara kemiskinan dengan masalah sosial ini sangatlah rumit. Masalah sosial bisa menjadi penyebab kemiskinan. Namun pada beberapa kasus, justru kemiskinan yang menjadi penyebab munculnya masalah sosial tersebut. Kemiskinan memperburuk dampak setiap masalah-masalah sosial lainnya.

Dalam pembahasan yang mendalam akan sejumlah studi mengenai pembentukan realitas oleh televisi, Hawkins dan Pingree (1893) menemukan banyak indikasi yang tersebar mengenai hubungan yang telah di perkirakan, tetapi tidak ada bukti yang menyimpulkan arah dari hubungan antara menonton televisi dengan gagasan mengenai realitas sosial. Mereka mengatakan bahwa televisi dapat mengajari mengenai realitas sosial dan bahwa hubungan antara penonton dan realitas sosial dapat timbal-balik: menonton televisi menyebabkan realitas sosial di bentuk dalam cara tertentu, tetapi konstruksi realitas ini juga membentuk perilaku menonton. Dalam pembahasan yang mendalam baru-baru ini mengenai penelitian kultivasi, Morgan dan Shanahan (1997) menarik kesimpulan bahwa efek kultivasi memang terjadi, tetapi rata-ratanya cukup kecil.  





DAFTAR PUSTAKA



Edi Suharto, 2008. “Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik”. Bandung: Alfabeta
Burhan Bungin, 2011. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana
Denis McQuail, 2011. “Teori Komunikasi Massa” Edisi 6 – Buku 2, Jakarta: Salemba Humanika



Tidak ada komentar:

Posting Komentar