DEFINISI EMPIRISME
Empirisme
adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan
akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani yaitu emperia yang berarti
coba- coba atau pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Francis Bacou , Thomas
Hobbes, John Locker, dan David Hume. Karana adanya kemajuan ilmu pengetahuan
dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot.
Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguan lagi bagi kehidupan.
Pada sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya
diperoleh lewat indra (empiri) dan empirilah satu - satunya sumber pengetahuan.
Pemikiran tersebut lahir dengan nama Empirisme.
1. Francis Bacon ( 1210 - 1292 M )
Dari
mudanya Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa
ia menjabat pangkat- pangkat tinggi dikerjakan inggris kemudian diangkat dalam
golongan bangsawan. Setelah berhenti dari jabatannya yang tinggi. Barulah ia
mulai menuliskan filsafatnya.
Menurut
Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melaui persatuan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Dengan demikian bagi Bacon cara
memcapai pengetahuan itupun segera nampak dengan jelasnya. Haruslah pengetahuan
itu dicapai dengan mempengaruhi induksi. Haruslah kita sekarang memperhatikan
yang konkrit, mengumpulkan, mengadakan kelompok- kelompok, itulah tugas ilmu
pengetahuan.
2. Thomas Hobbes ( 1588 - 1679 M )
Thomas Hobbes
adalah seorang ahli piker yang lahir di Malmesbury, ia adalah anak dari seorang
pendeta. Menurutnya bahwa pengalaman interawi sebagai permulaan segala
pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan
kebenaran. Pengetahuan kita tak mengatasi pengindraan dengan kata lain
pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja, yang lain tidak.
Ada yang
menyebut Hobbes itu menganut sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus
(indra) dalam pengetahuan. Tetapi dalam hubungan ini tentulah ia anggap salah
satu dari penganut empirisme, yang mengatakan bahwa persantuhan denag indera(
impiri) itulah yang menjadi pangkal dan sumber pengetahuan.
Pendapatnya
adalah bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum.
Menurutnya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat- akibat atau
tentang gejela- gejela yang doperoleh. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu
untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ditentukan oleh sebab, sedangkan
prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam.
3.
John Locke ( 1932 - 1704 M )
John Locke
dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, Inggris. Ia adalah filosof yang banyak
mempelajari agama Kristen. Disamping sebagai seorang ahli hukum ia juga menyukai
filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran, dan penelitian kimia. Dalam
mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagimana) manusia memakai kemampuannya.
Ia hendak
menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagimanakah mencapainya itu. Dalam penelitiannya ia memakai istilah
sensation dan reflecaton. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan itu,
reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada
manusia, yang lebih baik daripada sensation.
John Locke berargumen:
- Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada, memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu dating, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.
- Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru dijadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
- Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
- Apa innate itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate itu ada justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
- Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan akan “idiot sama-sama berpikir”.
4. David Hume ( 1711- 1776 M )
David
Hume menjadi terkenal oleh bukunya. Buku hume, treatise of human nature (1739
M). ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh
tahunan. Buku itu tidak terlalu banyak menarik perhatian orang, karenanya hume
pindah kesubyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan.
Kemudian
pada tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal, yang disebutnya An
Enqury Cincering Human Understanding, waktu mudanya ia juga berpolitik
tetapi tak terlalu mendapat sukses. Ia menganalisa pengertian substansi.
Seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengaman kita.
Apa saja
yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. Adapun yang
bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertia sesuatu yang tetap –
substansi – itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acap
kalinya, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal,
tetapi sebetulnya tidak ada substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya
tidak ada.
PENGERTIAN RASIONALISME
Pengertian Rasionalisme
Secara
etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism.
Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R.
Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah
pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan
pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai
aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam
penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Kehidupan dan Karya René Descartes
René
Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine,
Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche.
Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia
diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan
pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah
ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet
Jupiter tahun 1611.Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan
pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di
beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana
ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam
pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda
dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang
terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang
waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula
ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni
1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai
seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours
de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités
dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de
Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia
Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les
Passiones de L’ame (1650).
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes
merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat
dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat
Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang
dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi
bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman
Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang
dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat
untuk menemukan “sebuah ilmu yang samasekali baru pada masyarakat yang akan
memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat
kontinim atau terputus.”
Visi
Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian
pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran
dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu
merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Pada
dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan
matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar
dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti
dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam
usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode
“Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya
kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi
dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen
M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi
keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai
sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya
yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.
Tentang Subtansi
Descartes
berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri, Sementara manusia sebelum
mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan
Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu" dari sini akan menjadi
terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu mutlak" akan tetapi
"ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan "keraguan",
terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya adalah Descartes sebelum
dia memberikan hukum dan berkata "ergo sum" dia telah
menetapkan dirinya pada kata "to".
Dan
tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum".
Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang
meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan
sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah
sedemikian jelas dan presentifnya.
Jadi
keraguan yang timbul dari cogito bukanlah keraguan skeptik yang tidak
mungkin untuk diperoleh kebenaran darinya. Tapi, keraguan yang timbul disini
adalah keraguan yang bersyarat yaitu membutuhkan suatu usaha untuk mencapai
kebenaran.
Dari prinsip dasar
Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan istilah subtansi, ada tiga ide bawaan
yang diajarkan oleh Descartes, yaitu:
- Pemikiran.
Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir (cogito),
maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat saya. Karena
berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa secara detail dan terus-menerus
meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa keraguan
- Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna.
Karena
saya mempunyai ide sempurna (Cogito), mesti ada sesuatu penyebab
sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan.
Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan dipikirikan sebagai subtansi yang tidak
membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar “ada” sendiri.
- Keluasaan.
Saya
mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan
berpikir dan Tuhan menjamin adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir,
yaitu materi, pastilah ada juga secara riil.
Pikiran itu
sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak mengambil tempat karena ia tidak dapat
dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tapi dunia luar adalah materi yang
cenderung melakukan perluasan dan mengambil ruang, karenanya dapat dibagi
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.
Ciri-Ciri Filsafat Descartes
Inti
metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu
yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan
bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai
satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir.
Oleh
karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes
mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia
berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena
menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat
disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui
indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
Meskipun
demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman.
Hanya saja pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam
ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai
mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal saja.
Kemudian Descartes
menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat
dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali
kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku
Filsafat untuk umum karya Bambang Q.
Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita
membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri,
kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian historis kita
lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita”
POSITIVISME DAN EVOLUSI CARA BERPIKIR MANUSIA
Lahirnya Positivisme
Menurut buku Realitas Sosial yang ditulis K. J Veeger halaman 17, positivisme
adalah paham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia
kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai ilmu pengetahuan (science,
sains). Positivisme merupakan ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji melandasi pengetahuan sah.
Positivisme lahir sebagai reaksi terhadap zaman
pencerahan. Dalam buku Teori Sosiologi Karya George Ritzer dan Douglas J.
Goodman disebutkan, pengaruh Pencerahan pada teori sosiologi lebih bersifat
tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat langsung dan positif.
Zaman pencerahan menyebabkan beberapa “penyakit” pada
masyarakat. Oleh karena itu Comte menginginkan adanya perubahan atau reformasi
sosial untuk memperbaiki “penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan
Pencerahan itu. Comte hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat.
Hingga akhirnya tercipta teori evolusi yang dikemukakan Auguste Comte atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
- Tahap Teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap
ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh
kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau tuhan. Pemikiran
ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di
sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat
tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme dan dinamise,
menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Contohnya, bergemuruhnya guntur
disebabkan raksasa yang sedang berperang dan lain-lain. Kemudian ada animisme
yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua
politeisme, sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya. Politeisme
mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara
mereka. Sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam.
Contoh dari politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang
berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa
yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir,
monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
- Tahap Metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara
berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar manusia sebagai
akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap ini, muncul
konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan seperti “alam”.
Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
- Tahap Positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang
terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan
dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang dulunya mengatur segalanya
pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada lembaga-lembaga lainnya
sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya itu muncul sekulerisme
atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain. Tahap ini menjadikan
ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga
tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan
pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada
penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang
mengaturnya (Teori Sosiologi, George Ritzer & Douglas J. Goodman Halaman
17).
Dinamika Proses Evolusi Akal-Budi
Tidak semua perkembangan pikiran berlangsung cepat dan
lancar.
Proses perkembangan akal-budi ada yang berlangsung cepat
ada pula yang lambat. Perkembangan berlangsung cepat apabila dibidang itu
cenderung lebih sederhana dan bersifat universal. Contohnya saja matematika
yang merupakan pengetahuan paling sederhana dan bersifat universal. Oleh karena
itu pengetahuan itu berkembang pesat. Berbeda halnya dengan bidang ilmu
pengetahuan lain yang rumit dan bersifat fenomin. Contohnya pengetahuan yang
mengkaji mengenai kematian, kelahiran, cuaca, bencana dan sebagainya, yang
sulit dijelaskan pada zaman teologi dan metafisik karena cara berpikir
masyarakat yang masih berpusat pada tuhan ata dewa. Pengetahuan ini membutuhkan
waktu yang sangat lama untuk bisa diakui di masyarakat. Dalam buku realitas
sosial dijelaskan bahwa inti ajaran Comte yaitu sejarah pokoknya adalah proses
perkembangan bertahap dari cara manusia berfikir dan proses ini bersifat
mutlak, universal, dan tak terelakkan.
Teori evolusi Comte
tidak menganut determinisme yang radikal walaupun ia berpendapat bahwa
proses evolusi akal budi serta pemantulannya oleh masyarakat berjalan terus dan
pasti mencapai tujuannya, namun menurut dia manusia masih juga memainkan
peranan bebas.
Oleh peranan manusia dapat mempercepat atau memperlambat
datangnya zaman baru. Selain itu, manusia dapat mengadakkan variasi tiga faktor
yang disebut berpengaruh atas adanya variasi yaitu suku bangsa, iklim dan
strategi. Namun demikian semakin manusia menyadari bahwa hukum evolusi bersifat
pasti, dan mendukungnya, semakin cepat masyarakat baru akan terwujud.
Masyarakat Positivis adalah Masyarakat Industri
Masyarakat bukanlah benda mati, masyarakat akan selalu
berkembang dan bergerak menjadi semakin maju. Masyarakat yang tidak puas atas
zaman teologis dan metafisik akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tentang segala fenomena yang terjadi disekitar mereka. Dengan melakukan
percobaan, serta menguji fenomena maka akan muncul jawaban yang ilmiah dan
menggantikan jawaban mutlak seperti “kuasa tuhan” atau “nasib”. Seperti
yang dikatakan Comte, zaman
positivisme akan menggantikan teologis dan metafisik serta menjadikan dunia ini
menjadi lebih baik karena mendasarkan segala sesuatu dengan hal-hal yang ilmiah
dan rasional.
Zaman berburu dan meramu, maupun sistem produksi tradisional berganti
menjadi zaman modern dengan ditemukannya mesin-mesin yang mempermudahkan
pekerjaan manusia.
Dari positivisme lahirlah masyarakat industri karena pengetahuan
semakin berkembang. Berubahnya
masyarakat menjadi masyarakat industri mempengaruhi antagonisme kelas dan
kemiskinan kaum buruh karena sistem ekonomi yang berkembang yaitu sistem
ekonomi liberal.
Comte membenarkan hal
milik perseorangan atas sarana-sarana produksi, juga hak untuk mengumpulkan
kekayaan besar. Menurut dia, antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh
hanyalah efek samping dari sistem ekonomi liberal. Namun, bukan berarti Comte
menyetujui persaingan liar yang tak terkendali , dan kebebasan mutlak di bidang
ekonomi. Karl Marx tidak setuju dengan sistem ekonomi liberal. Menurut dia,
terjadinya antagonisme kelas dan kemiskinan merupakan hal yang kronis dan harus
segera diperbaiki.
Comte berpendapat
tentang etika sosial yang merupakan sarana terbaik utuk mengatasi masalah ini.
Mengembangkan kesadaran moral merupakan hal yang penting untuk menciptakan
kolektivisme. Apabila kesadaran kolektivisme sudah dimiliki oleh masyarakat,
maka kestabilan ekonomi akan terjadi dan mengurangi antagonisme kelas serta
kemiskinan.
Statika dan Dinamika Sosial
Statika sosial yang dimaksud yaitu semua unsur struktural
yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara
lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai-nilai seperti
keyakinan , kaidah, dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang kongkret
dan mantap pada kehidupan bersama.
Statika sosial itu disepakati oleh anggota yang disebut volonte
general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan
persatuan, perdamaian, dan kestabilan. Tanpa unsur-unsur struktural ini
kehidupan bersama tidak dapat berjalan.
Dinamika sosial yang dimaksud yaitu semua proses pergolakan
yang menuju perubahan sosial. Dinamika sosial merupakan daya gerak sejarah yang
pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangann baru yang
setara dengan kondisi dan keadaan zaman.
Pada abad ke 18 dinamika sosial yang paling menonjol
dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan-gagasan agama yang lama
dengan konsep-konsep positif dan ilmiah yang baru.
Pada tahap teologi masyarakat dihayati sebagai kehendak
dewa. Pemerintahnya berstruktur feodal atau parternalistis. Ekonominya bercorak
“militaristis” artinya bahwa
orang tidak memproduksi barang kebutuhan mereka tetapi memetik atau meramu
hasil bumi. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, terlihat dari
adanya revolusi dan perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap
positifisme membangun kembali suatu orde yang kokoh-kuat dimana peranan agama
dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan
universal.
Comte telah menyaksikan
krisis sosial yang hebat, yang disebabkan oleh
benturan antara masyarakat tradisi dengan masyarakat industri baru. Kendati
demikian ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjadi tertib kembali kalau
suatu kesepakatan tentang nilai-nilai baru akan tercapai.
bagus kak, sangat membantu :)
BalasHapusadeoya97.blogspot.com
terima kasih atas informasinya, bisa jadi referensi buat tugas filsafat :)
BalasHapus