Sabtu, 18 Januari 2014

Latihan #12 Bahasa Indonesia Profesi

Soal:


  1. Sebutkan dan jelaskan beberapa ragam bahasa. Sertakan contoh masing-masing?
  2. Apa yang menjadi ciri utama ragam bahasa jurnalistik sehingga bisa dibedakan dengan ragam bahasa lainnya?
  3. Kalimat-kalimat di media massa seringkali disusun secara tidak nalar, sejak dari penyusunan proporsisi sampai pada konklusi. Berikan contoh.
  4. Sering dituduhkan bahwa bahasa jurnalistik yang digunakan media massa di Indonesia justru merusak bahasa Indonesia. Tuduhan ini, seperti dikatakan J.S Badudu, pakar bahasa Indonesia, memang beralasan sebab banyak sekali kesalahan yang dilakukan para jurnalis kita. Kesalahan itu, menurut Badudu, merata dari penggunaan ejaan, pemilihan kata, penghilangan unsur-unsur gramatikal, dan penyusunan kalimat-kalimat yang rancu. Berikan beberapa contoh tentang kesalahan yang sering dilakukan para wartawan: Tunjukan dimana letak kesalahannya.
  5. Dikatakan bahwa bahasa jurnalistik itu ringkas, lugas, padat, dan to the point. Meski begitu, kalimat jurnalistik kadang memerlukan gaya bahasa seperti dalam sastra untuk memperjelas pesan dan meninggalkan kesa. Dalam penulisan feature gaya bahasa bahkan sudah menjadi keharusan. Berikan contoh.


 Jawaban:

  1. Macam-macam ragam bahasa dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
·        Ragam bahasa undang-undang, yaitu bahasa yang ditulis ke dalam buku undang-undang. Bahasa yang digunakan dalam perundang-undangan haruslah menggunakan ragam bahasa baku atau standar. Bahasa baku atau standar ialah bahasa yang dapat dijadikan acuan atau tolok ukur, baik dalam hal kegramatikalan kalimat, mencakup struktur kalimat serta bentuk dan pilihan kata maupun dalam hal penulisannya.
Contoh: isi dari Undang-undang Negara, dan terdapat kata-kata khusus antara lain: perdata, pidana, kasasi, tertuduh, terdakwa dan sanksi.

·        Ragam bahasa jurnalistik, merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal.
Contoh: “Tadi pagi sekitar pukul 06.30 WIB pesawat berjenis Hercules jatuh di Purwodadi, Madiun, Jawa Timur. Pesawat tersebut jatuh di area persawahan dan belum ada data resmi mengenai data tersebut. Namun diduga pesawat tersebut adalah milik TNI Angkatan Udara.”

·        Ragam bahasa ilmiah, bahasa yang digunakan dalam penulisan ilmiah. Ragam bahasa ilmiah yakni dengan menggunakan metode ilmiah dalam membahas permasalahan, menyajikan kajian dengan ragam bahasa dan tata tulis ilmiah, dan menggunakan prinsip-prinsip keilmuan pada umumnya seperti objektif, logis, empiris, sistematis. Ragam bahasa ilmiah dapat juga diartikan sebagai hasil berpikir ilmiah yang didasarkan pada rencan yang relative matang karena akan memudahkan penulis untuk mewujudkan karya-karya ilmiah.
Contoh: “Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa kacang hijau yang tertinggi adalah kacang hijau yang ditanam di tempat gelap. Hal ini disebabkan karena hormon auksin sangat cepat berkembang di tempat gelap.”

·        Ragam bahasa sastra, ragam ini banyak menggunakan kalimat tidak efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya adalah melalui rangkaian kata bermakna, dan konotasi sering dipakai dalam ragam bahasa sastra.
Contoh: “Demi menghidupi keluarganya, ia rela memeras otak dan membanting tulang.”


  1. Ciri utama dari bahasa jurnalistik dengan ragam bahasa yang lainnya adalah dengan menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, popular, logis, gramatikal, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan menghindari istilah asing. Serta, bahasa jurnalistik ini tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku dalam bahasa Indonesia.

  1. Kekeliruan dalam proses berpikir karena keliru menafsirkan atau menarik kesimpulan. Kekeliruan ini dapat terjadi karena faktor emosional, kecerobohan atau ketidaktahuan. Serta kesalahan seorang penulis yang melakukan generalisasi atas gejala atau peristiwa yang belum diuji kebenaran atau kesalahannya.
Contoh: “Semua anak yang jenius akan sukses dalam belajar.” – pernyataan tersebut tidak benar, karena kejeniusan atau tingkat intelegensi yang tinggi bukan satu-satunya faktor penentu kesuksesan belajar anak. Karena masih banya faktor penentu lain yang terlibat, seperti motivasi belajar, sarana prasarana, keadaan lingkungan, dan sebagainya.

  1. Beberapa contoh kesalahan yang sering dilakukan para wartawan:
§        “Di sekolah, bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang terpenting. Tanpa menguasai bahasa Indonesia seorang siswa tidak mungkin dapat memahami mata pelajaran lainnya dengan baik.” – dari pernyataan tersebut jelas sekali dimana letak kesalahannya. Bahwa bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran penting, memang benar. Tetapi kalau dikatakan terpenting tampaknya perlu dipertanyakan. Pernyataan tersebut terjadi karena sikap penulis yang ingin segera meyakinkan orang lain dengan bahan yang terbatas.

§        “Korupsi di Indonesia tidak bias diberantas, karena pemerintah tidak memiliki undang-undang khusus tentang hal itu.” – terdapat pengabaian persoalan dari seorang penulisini terjadi karena penulis mengemukakan pendapat tanpa memahami persoalan yang dihadapi dengan baik. Sehingga pendapat yang disampaikan tidak mengena dan tidak menjawab secara benar atas persoalan yang terjadi.

  1. Kalimat jurnalistik kadang memerlukan gaya bahasa seperti dalam sastra. Namun demikian tidak berarti bahwa kriteria sastra dan bahasa yang berbunga didalam penulisan sastra ada dalam penulisan feature. Artinya penulisan feature tetap terikat pada syarat-syarat penulisan yang berlaku secara umum dalam surat kabar, termasuk isinya lebih mengedepankan fakta ketimbang fiksi. Dalam penulisan feature tidak boleh mengabaikan tema dari tulisannya. Kalimat-kalimatnya yang sederhana dan berdasarkan fakta-fakta hendaknya tersusun rapi didalam alinea-alinea yang merumuskan pikiran, dan berhubungan satu sama lainnya secara sistematis. Harus ada pula semacam klimaks dan antiklimaks seperti dama penulisan sastra agar dapat mengikat perhatian pembaca sehingga pembaca dengan asyik mengikuti jalannya cerita yang disajikan oleh penulis. Dan yang terpenting lagi adalah alur tulisan harus mengalir begitu rupa, tidak tersendat-sendat, sehingga pembaca seolah ikut hanyut didalam cerita.

Contoh feature:

Tuhan Belum Ngasih Saya…


Umi (bukan nama sebenarnya), tiba-tiba terkulai lesu. Tatapan matanya hampa dan pikirannya menerawang jauh entah kemana. Dari raut wajahnya, Umi tampaknya sedang memperlihatkan kesedihannya yang mendalam, ia pun tak bergening meski di depannya banyak mahasiswa berlalu-lalang.

Sambil duduk di emperan Auditorium Utama, ia kembali membolak-balik lembar-lembar kertas yang di pegangnya sejak tadi. Tapi, lagi-lagi yang dicari toh tetap tak ditemukan. Sesaat Umi menghela napas, dan kemudian meremas-remas lembaran kertas tersebut. Ia pun membuang kertas itu ke tong sampah.

Senin (4/8) pagi itu, Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Jakarta baru saja mengumumkan nama-nama calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus ujian. Umi termasuk salah satu peserta ujian yang tak lolos mengingat ketatnya persaingan.

Dibandingkan dengan kawan-kawan lainnya, Umi hari itu memang bernasib tak mujur. Padahal, menurut dia, sejak awal dirinya banyak berharap akan diterima di UIN Jakarta, satu-satunya perguruan tinggi yang dia pilih selepas lulus dari aliyah. Oleh karena itu, untuk berhasil masuk UIN Jakarta, Umi mengaku telah mengerahkan seluruh kemampuannya dengan belajar ekstra keras. Tapi sayang, belajar keras Umi harus kandas saat hasil ujian diumumkan hari itu. “Mungkin Tuhan belum ngasih saya kesempatan lulus,” tuturnya pasrah.

Konon, ketika memilih UIN Jakarta untuk melanjutkan studinya, gadis lulusan sebuah Madrasah Aliyah swasta dibilangan Cipete, Jakarta Selatan ini mengambil Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai pilihan pertama. Pilihan kedua, ia mengambil Fakultas Psikologi.

“Saya belum tahu mau nerusin dimana setelah tidak lulus dari sini (UIN Jakarta – Red.). Semua terserah ortu saja,” ucap Umi saat ditanya rencana selanjutnya.

Umi bukanlah satu-satunya calon mahasiswi baru yang tidak diterima di UIN Jakarta. Ada 6.199 calon mahasiswa lain dengan nasib yang sama. Berbeda dengan Umi, Isti’anah dan Ulfah justru sebaliknya. Mereka berhasil lolos pada ujian masuk UIN Jakarta yang di gelar 22 Juli 2003.

Isti’anah, calon mahasiswi lulusan dari sekolah yang sama dengan Umi, saat itu diterima di Fakultas Psikologi sebagai pilihan pertamanya. Pilihan kedua ia mengambil program studi Perbankan Syariah dan Hukum. Sementara Ulfah, calon mahasiswi lulusan SMUN 3 Tegal, Jawa Tengah, diterima di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora.

Wah saya surprise banget, Mas. Padahal, saat itu saya cuma milih satu program studi saja,” kata Ulfah seraya tak henti-hentinya melempar senyum.



(Berita UIN, No 04/11-17 Agustus 2003)

NKRI di Era Reformasi: Ancaman Neo Liberalisme

BAB I
PENDAHULUAN



1.1           Latar Belakang Masalah

Dalam Globalism, Manfred Steger mengatakan bahwa neoliberalisme telah menjadi semacam modus operandi dalam pengelolaan ekonomi dan juga politik. Sementara itu Herry Priyono mengemukakan bahwa neoliberalisme adalah “isme” yang bagai siluman telah menyusup ke hampir semua aspek kehidupan kita, tanpa kita sadar atau sempat memikirkannya.
            Sejak era tahun 1980-an, arus besar pemikiran ekonomi politik didominasi oleh apa yang sekarang kita kenal sebagai neoliberalisme. Awalnya di Inggris dan Amerika Serikat, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Neoliberalisme, sebagai sebuah aliran ekonomi-politik, mempunyai pengaruh yang mendalam dalam hampir semua kehidupan manusia. Oleh karena pengaruhnya sedemikian mendalam dalam keseluruhan cara berpikir kita, menurut David Harvey, seolah-olah neoliberalisme telah menjadi suatu common sense. Akibatnya, amat sering disalahartikan sehingga seorang pejabat publik acapkali menolak dikatakan sebagai penganut neolib meskipun kebijakan-kebijakan yang di keluarkannya sangat bercorak neolib.
            Secara ringkas, neoliberalisme dapat dirangkum dalam dua pengertian, yaitu (1) paham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo-economicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politicon, dan lain sebagainya; (2) sebagai kelanjutan pokok pertama, neoliberalisme juga biasa di maknai sebagai dominasi sector finansial atas sector riil dalam tata ekonomi politik. Definisi pertama lebih menunjuk pada “kolonisasi eksternal” homo-economicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas kehidupan manusia, sedangkan dimensi kedua menunjuk pada “kolonisasi internal” homo finansialis atas multidimensionalitas homo economicus itu sendiri. Menurut Priyono, dalam peta persoalan ini, normatif etis yang biasa disebut “kebaikan bersama” tidak lagi dianggap sebagai tujuan yang secara intensional dikejar oleh agenda ekonomi-politik (intended motive), tetapi hanya sebagai hasil sampingan (unintended consequences) kinerja ekonomi politik. Sebaliknya yang dikejar oleh agenda ekonomi-politik neolib adalah “the accumulation of individual wealth”. Dalam bahasa yang lebih singkat, neoliberalisme menyangkut “cara-cara kita berinteraksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata Negara maupun hubungan internasional. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial, dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi ekonomi. Disini manusia dipahami pertama-tama dan terutama sebagai homo economicus.


1.2           Rumusan Masalah

Dengan sudut pandang filosofi, neoliberalisme telah men-subordinasi keseluruhan multidimensionalitas manusia. Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial sebagaimana banyak dianalisis para sosiolog tidak akan menemukan eksistensinya dibawah hegemoni neoliberal. Ini karena keseluruhan aktivitas manusia berdasarkan sifat homo economicus manusia, yang hanya peduli pada persoalan untung rugi sehingga tak pelak gagasan dan terlebih kebijakan neoliberal adalah keliru. Nah pertanyaannya kemudian adalah begaimana dampak-dampak hegemoni kebijakan neoliberal dalam kehidupan public warga Negara?
            Dalam mengomentari krisis 1997, Perkins mengemukakan, “bagi mereka yang mau mendengar, krisis ini mengirimkan sebuah pesan kuat bahwa niat sejati IMF dan Bank Dunia bukanlah untuk mengelola perekonomian, melainkan lebih untuk memperkaya korporatokrasi dangan mengorbankan orang lain”. Kemudian, pada bagian lain, ia mengemukakan, “sudah jelas kami membebani utang yang jumlahnya begitu mencengangkan (running teks di salah satu stasiun televisi, TV One, utang Indonesia hingga akhir 2009 kurang lebih 1.500 triliun rupiah) hingga Negara ini tidak mampu melunasi. Maka, Indonesia dipaksa menebus utang dengan memuaskan hasrat korporasi kami. Dengan begitu, tujuan kami, para bandit ekonomi, tercapai.









2.1           NKRI di Era Reformasi: Ancaman Neo Liberalisme

Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai tujuan nasional dan cita-cita kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan para pendiri negara.
Pasca proklamasi kemerdekaan para pemimpin bangsa ini, berusaha keras untuk mencapai cita-cita tersebut melalui konsepsi pembangunan berencana yang bertahap-tahap. Bangsa Indonesia berusaha dengan keras untuk tegak dan berdiri secara mandiri setelah membebaskan diri dari penjajahan dan cengkeraman bangsa asing selama berabad-abad.
Ketika tahun 1998 reformasi berkumandang, muncul berbagi figur elit politik yang menyebut dirinya kaum reformis sekaligus menjadi komprador kekuatan asing untuk berkuasa kembali di negeri ini secara invisible dan total.
Dengan isu globalisasi, HAM, demokratisasi dan lingkungan hidup, kekuatan asing terutama negara adikuasa sebagai pemenang perang dingin, memulai proses neo-imperialisme, neokapitalisme, neo-liberalisme sebagai bentuk baru penjajahan di dunia.
Semua negara terutama negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia menjadi sasaran dengan strategi, taktik, teknik serta metoda yang lebih canggih termasuk membangun jaringan dengan para komprador dalam negeri yang terdiri dari para elit yang mereka sebut reformis.
Di era reformasi yang tidak jelas arahnya, bangsa dan negara Indonesia melalui para elit reformis sedang digiring dan dijebak untuk “dikuasai dan dijajah kembali”. Fakta tentang tren perkembangan situasi global dan nasional memperlihatkan sekaligus memperkuat fakta bagaimana kerasnya kekuatan neo imperialisme, neo kapitalisme dan neo liberalisme berusaha mencengkeram negara ini, serta bagaimana peranan para elit reformis sebagai komprador membantu dan mengakomodir konsepsi penjajahan baru tersebut.
Melalui kerjasama Departemen dan LSM, personil asing terutama dari Amerika Serikat menjadi operator pembuatan berbagai undang-undang sebagai pelaksana dan tindak lanjut dari perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Produk perundang-undangan yang dihasilkan meliputi berbagai bidang seperti ekonomi moneter, hukum, sumber daya alam, politik, pertahanan dan keamanan. Berbagai produk hukum hasil karya LSM asing yang bekerjasama dengan para komprador di dalam negeri antara lain:
  • Produk hukum Ellips Project dari USAID.
  • Produk hukum ACIL-ILO dari USAID.
  • Produk hukum PEG dari USAID.
  • Produk hukum PGR dari UNDP.

Berbagai lembaga yang menjadi jaringan/jembatan organisasi Ellips di Indonesia, antara lain:
  • MAPPI, LEIBB dan lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Indonesia (Research Institute for Procedural Law and Indonesian Judicial System).
  • Kelompok Kajian Dasar Ilmu Hukum (Study Group on Basic of Legal Science).
  • Lembaga Studi Hukum Ekonomi (Institute for the Study of Law and Economics).
  • Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Pilihan Penyelesaian Sengketa.
  • Kelompok Kajian Hukum Fiskal (Study Group on Fiscal Law).
  • Kelompok Kajian Hak Atas Kekayaan Intelektual (Study Group in the Intelectual Property Right).
  • Lembaga Kajian Hak Asasi Manusia (Institute for International Human Right Law Studies).
  • Lembaga Kajian Islam, Hukum islam (Research Institute for Islam and Islamic Law Studies).
  • Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (Institute for Stock Market and Financial Studies).
  • Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Indonesia Court Monitoring Society).

Berikut adalah orang-orang asing yang menjadi operator pembuatan undang-undang melalui lembaga Departemen, antara lain:
  • Bank Indonesia: Thomas A. Timberg, penasihat bidang skala kecil dan Susan L. Baker, konsultan bidang Konstrukturisasi Perbankan.
  • Deperindag: Etephen L. Magiera, ahli Perdagangan Internasional dan Gary Goodpaster, ahli desentralisasi, internal carriers to trade and local discriminatory action.
  • Departemen Hukum dan HAM : Paul H. Brietzke, legal advisor.
  • Kementrian Usaha kecil dan Menengah Koperasi: Robert C. Rice, ahli small and medium enterprise.
  • Departemen Keuangan: Arthur J. Mann dan Burden B. Stephen, V. Marks, ahli perpajakan.
  • Kementrian Kominfo: Harry F. Darby, ahli regulasi komunikasi.
  • Departemen Perhubungan: Richard Balenfeld dan Don Frizh, konsultan PEG bidang pelayaran dan pelabuhan.


Hasil yang telah dicapai jaringan subversi asing dalam produk undang-undang di Indonesia adalah:

2.1.1     Produk Hukum yang Dihasilkan oleh Ellips Project: 

  • UU No. 5 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  • UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
  • UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
  • UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
  • UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  • UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
  • UU No. 18 Tahun 2003 tentang Hak Advocat.
  • UU No. 19 Tahun 2003 tentang Hak Cipta.
  • UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batalyon.
  • Draf akademik yang disiapkan adalah:

a). RUU Rahasia Negara.
b). RUU Perintah Transfer Dana.
c). RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.


2.1.2     Produk hukum yang dihasilkan oleh PEG (Partnership for Economic Growth): 

  • UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Nepotisme.
  • UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
  • UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
  • UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  • UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  • UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
  • UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004.
  • UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  • UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
  • UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
  • UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  • UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
  • UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
  • UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
  • UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
  • UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggantin Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
  • UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  • UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2.1.3     Produk hukum yang dihasilkan oleh ACIL-ILO (American for International Labour Solidarity-ILO)

  • UU No. 22 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
  • UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  • UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

2.1.4   Produk hukum yang dihasilkan oleh PGR (Partnership for Government Reform):

  • UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
  • UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
  • UU No. 37 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan.
  • UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif.
  • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  • UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
  • UU No. 18 Tahun 2003 Advokat.
  • UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
  • UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
  • UU No. 8 Tahun 2004 tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
  • UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara.
  • UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
  • UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.



2.2           Restorasi Meiji, Revolusi Zhu Rongji Dan Reformasi NKRI.

“Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah dipasar dan jalan raya.”
Pembaharuan, perubahan, perbaikan, pembenahan, penyempurnaan, adalah keniscayaan dari gerak zaman di setiap ruas peradaban manusia. Di setiap belahan dunia, setiap komunitas, setiap umat, bangsa dan negara. Ia bisa terangkum dalam nama restorasi, revolusi atau reformasi, semua memuat totalitas makna pembaharuan, gerak hijrah-perpindahan dari kegelapan menuju terang, dari dari keterpurukan menuju kekokohan. Renaissance, lahir kembali. Reinkarnasi, menitis lagi.


2.2.1     Restorasi Meiji, Jepang (1868)

Gelombang pembaharuan terbesar dalam sejarah negeri matahari terbit. Masa pencerahan sebuah bangsa yang terkungkung dalam kegelapan tiran pemerintahan diktator militer feodalisme korup Tokugawa Ieyashu tahun 1600. Kaisar Meiji menjadi figur sentral  restorasi yang membawa perubahan besar-besaran struktur politik dan sosial Jepang.
Kata Meiji sendiri berarti kekuasaan pencerahan dan pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan “kemajuan Barat” dengan nilai-nilai “Timur” tradisional. Restorasi Meiji, Meiji Ishin, Revolusi Meiji, atau Pembaruan Meiji  menjadi titik tolak bangsa Jepang untuk menjadi negara modern berkeunggulan-keadaban, gerbang pembebasan setelah 265 tahun terisolasi dari dunia luar, di bawah 15 generasi keshogunan Tokugawa.
Kegemilangan restorasi Meiji tak lepas dari peran besar para ksatria Jepang para prajurit samurai, yang dengan spirit “berani mati bushido” berkolaborasi bersama rakyat hendak memperjuangkan kembali kekuasaan yang absah ke tangan kaisar.  “Sonnō jōi!” (Dukung kaisar, usir barbar!), perjuangan aliansi pro-kaisar membuahkan hasil.
3 Januari 1869 menjadi tonggak bersejarah dari restorasi, ketika Kaisar mengeluarkan deklarasi formal tentang pengembalian kekuasaan ke tangannya:
“Mulai saat ini kami akan melaksanakan kekuasaan tertinggi untuk urusan-urusan dalam dan luar negeri dari negara ini. Maka dari itu, semua penyebutan Taikun dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat harus diganti dengan perkataan Kaisar. Para pejabat sedang ditunjuk oleh kami untuk melaksanakan urusan-urusan luar negeri. Perwakilan-perwakilan dari negara-negara penandatangan traktat hendaknya memaklumi pengumuman ini.”
Alhasil, dalam kurun waktu kurang dari 4 dekade, Restorasi Meiji sukses mengakselerasi industrialisasi di Jepang yang dijadikan modal untuk kebangkitan Jepang sebagai kekuatan militer pada tahun 1905 di bawah slogan “Negara Makmur, Militer Kuat” (fukoke kyohei).
Restorasi Meiji, dengan semangat bushido samurai khas ksatria Jepang, negara ini mampu merevolusi feodalisme korup yang telah berlangsung 265 tahun dan kini menjadi negara maju dalam industri dan perkasa dalam ekonomi di arena dunia.


2.2.2   Revolusi Zhu Rongji, Cina (1998)

Di awal kepemimpinan, Perdana Menteri Zhu Rongji berpidato:
”Beri saya 100 peti mati dan saya akan mengubur 99 koruptor di negara ini, satu lagi akan saya pakai jika saya juga korupsi.''
Kata-kata diatas bukan sekedar sumpah sampah, ikrar asal koar atau slogan kosong. Ribuan bahkan puluhan ribu orang di China telah dihukum mati sejak tahun 2001 karena terbukti melakukan berbagai kejahatan, termasuk korupsi. Tercatat setidaknya ada 7 contoh pejabat publik yang benar-benar masuk peti mati dieksekusi karena kasus korupsi.
Mereka adalah Cheng Kejie (pejabat tinggi Partai Komunis Cina sekaligus Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional), Hu Changging (Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi), Xiao Hongbo (Deputi Manajer Cabang Bank Konstruksi China), Xu Maiyong (mantan Wakil Walikota Hangzho), Jiang Renjie (mantan Wakil Walikota Suzhou), Li Yushu (Wakil Wali Kota Leshan), dan Zhou Liangluo (mantan kepala distrik Haidan, Beijing).
Pada 1999 saja, tercatat 1.263 koruptor dieksekusi. Jumlah ini melejit menjadi 4.367 orang pada 2001. Tidak hanya itu, puluhan ribu polisi dipecat karena menerima suap, berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas dan kualitas di bawah standar. Hasilnya, menurut Transparency International, China yang tadinya berlabel negara terkorup, pada 2007 berada di urutan 64. 
Sebab pejabat takut untuk korupsi, pertumbuhan ekonomi China mencapai 9% per tahun dengan PDB melonjak tinggi dan cadangan devisa negara lebih dari 300 miliar USD. China pun tumbuh menjadi menjadi salah satu kekuatan raksasa ekonomi dunia. Sumpah yang telah mengubah wajah China dari negara penuh korupsi menjadi negeri yang minim penyelewengan. 
Hukuman mati yang diterapkan 'Negeri Tirai Bambu' terhadap para koruptor hanyalah salah contoh betapa seriusnya mereka memerangi penyimpangan. Aktivis hak asasi manusia (HAM) memang gencar mengecam, tetapi mereka bergeming. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, China jalan terus. Pantang surut karena memang dianggap prorakyat. Soal law enforcement, China memang bisa dijadikan contoh. Di negara komunis ini, peraturan adalah peraturan. Lurus, tidak bisa dibengkokkan oleh kekuasaan atau uang.


2.2.3     Reformasi NKRI (1998)

Gong reformasi ditabuh. Suara pembaharuan rakyat, tokoh masyarakat dan mahasiswa menggema. Euforia kebebasan massa setelah tiga puluh tahun terkungkung dalam tiran meluap menggelora, bagai air tumpah dari bendungan besar. Rezim orde baru tumbang, The Smiling General Soeharto lengser keprabon tanpa sempat persiapan.
Udara kemerdekaan yang dinanti-nantikan rakyat, harus ditebus dengan nyawa ribuan anak bangsa. Rakyat selalu jadi korban perubahan zaman, tumbal wajib setiap permainan kekuasaan. Perjuangan selalu membutuhkan bergalon- galon keringat, darah dan air mata. Rakyat kecil tak peduli, apapun dikorbankan dengan kepolosan khas tetap setia menjadi martir bagi perjuangan bangsa. Perubahan, perbaikan, pembaharuan.
Namun reformasi NKRI hanya sambel terasi. 14 tahun berlalu, sayup-sayup gaung suara itu makin menghilang. Nyaris tak lagi terdengar, lenyap, senyap, sepi ditelan hari. Gelombang harapan yang dulu menggunung kini telah kandas, tinggal buih-buih dan riak kecil di tepian. Senada dan seirama dengan nasib sebagai penghuni wilayah tepian, kaum pinggiran. Harta, nyawa dan kebersamaan anak bangsa yang sempat terguncang gagal ditebus dengan harga yang layak dan sepadan. Kesia-siaan yang terulang, sudah kebiasaan, potret sejarah bangsa yang gagal mental. 
Orde kolonialisme, orde lama, orde baru dan orde reformasi, rakyat kecil selalu saja disuguhi   menu istimewa, sambel terasi. Panas, sedap dan pedas berkobar saat mengunyah perjuangan, tapi rasa nikmatnya segera menghilang beberapa saat setelah kemenangan diproklamirkan. Perut-perut kecil kembali menahan lapar, justru mulas yang didapat. Sebab porsi nasi yang seharusnya dibagi dengan adil dan merata, habis ditelan mulut-mulut lebar para raksasa. Jatah kurcaci selalu cuma sisa-sisa, dan yang pasti, sambel terasi abadi.
Di mana sekarang sang tokoh sentral penggerak reformasi, sang reformis Amien Rais yang dengan ikon KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) berhasil mengikat energi mahasiswa dan rakyat untuk bersatu menggulirkan perubahan? Quo vadis Amien Rais? Di mana 10 wajah pada pagi 19 Mei 1998 yang meminta Pak Harto mundur? Ada K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid (Cak Nur), Ali Yafie, Prof Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, K.H. Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan Ma'ruf Amin. 
Dua dari tokoh reformasi telah tiada, Gus Dur dan Cak Nur. Amien Rais bahkan telah putus asa, “reformasi telah mati sebelum tumbuh.” Sisanya, sibuk dengan urusan masing-masing, dan entah ke mana lainnya, sebab suaranya kini tak terdengar lagi. Bangsa ini krisis kepemimpinan. Maka reformasi galat, alias gagal alat. Potret buram dari bangsa gagal mental. Korupsi makin menemukan performa terbaiknya. Wilayah korupsi yang semula hanya terbatas eksklusif dai kalangan pejabat-birokrat-pemimpin, pasca reformasi justru menyebar luas ke seluruh lini, aspek, segi, strata, kasta, lintas ruang dimensi.
Korupsi menjadi wabah endemik-sistemik-sistematik akut. Evolusi sempurna gurita korupsi, dengan delapan tentakelnya menjerat leher bumi pertiwi di delapan arah mata angin. Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan. Karupsi massal nasional, gelap-gelapan dan terang-terangan, munfaridh dan berjama’ah.
Berkaca dari restorasi Meiji Jepang 1868 dan revolusi Zhu Rongji China 1998, ada satu hal yang menjadi sumber utama reformasi NKRI yang terlunta-lunta. Syamsudin Haris dari LIPI mengemukakan, krisis kepemimpinan saat ini merupakan mata rantai krisis nasional yang tak kunjung putus sejak reformasi. Setidaknya terdapat empat mata rantai krisis nasional pasca reformasi, yakni akumulasi permasalahan pada rezim Orde Baru, gagalnya konsolidasi kekuatan politik sipil pada reformasi 1998, reformasi institusional yang tambal sulam, dan inkonsistensi paket UU bidang politik.
Indonesia, Jepang dan Cina sesungguhnya memiliki sejarah dan latar belakang bangsa yang sebenarnya tak jauh berbeda, terlebih sebagai sesama bangsa rumpun Asia. Tapi kita gagal mengikuti jejak langkah dan kesuksesan negeri tetangga. Kita gagal merombak struktur politik, sosial dan budaya secara menyeluruh dengan semangat juang prawira-ksatria-mujahid khas Indonesia seperti halnya semangat bushido dan filosofi samurai khas Jepang, atau spirit keteladanan kepemimpinan khas China ala Zhu Rongji.
China melangkah dalam waktu yang sama dengan kita, 1998, namun realita yang ada sungguh jah berbeda. Apalagi dibandingkan dengan Jepang yang sudah melewati waktu hampir 150 tahun. Jika tak bisa belajar dari kesuksesan restorasi Meiji yang melibatkan sinergi trilogi peran ksatria-bangsawan, rakyat dan pemimpin (kaisar), mungkin kita bisa belajar dari kesuksesan China yang digerakkan keteladanan pemimpin tertinggi Perdana Menteri Zhu Rongji melalui peti mati.
Yang pasti, restorasi, revolusi, reformasi, semuanya bertujuan sama, perubahan, pembarauan, perbaikan total. Jika bangsa ini masih belum juga bisa menangkap pelajaran berharga dari negeri tetangga, sepertinya semua harus bersabar menunggu sampai tahun 2160-an, 150 tahun lagi atau lebih lama untuk mengikuti jejak Jepang atau China. Permasalahannya, sudahkah kita menyadari bahwa sejatinya kita sebagai bangsa belum memulai langkah nyata di hari ini?






3.1      Kesimpulan

Di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi sekarang ini, yang ditengarai oleh pasar bebas dan persaingan yang ketat, sekaligus mematikan, sebuah negara-bangsa (a nation-state) harus kuat dan tangguh vis-a-vis kekuatan-kekuatan pasar yang di dukung oleh lembaga-lembaga governance global sehingga mampu melakukan perannya yang efektif dalam pembangunan ekonomi yang mandiri. Ini sangat penting untuk mencapai dua tujuan sekaligus. Pertama, negara bisa memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Kedua, negara bisa melindungi dan menjaga harkat dan martabat para warga negaranya. Sebaliknya, jika sebuah negara-bangsa sangat lemah dan inferior, bisa dipastikan negara-bangsa tersebut akan menjadi pecundang sehingga tidak mempunyai kebebasan bertindak dalam pembangunan ekonomi yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Padahal sejak awal negara didirikan, negara mempunyai tujuan pokok yang diembannya, yaitu menjaga eksistensinya dan melindungi warga negaranya dalam pengertian yang luas, termasuk memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi.


3.2      Saran

        Cina dan Jepang telah memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai bagaimana seharusnya negara mampu bertindak dan berperan dalam ekonomi politik global sekarang ini. Kemampuan negara untuk melakukan intervensi secara efektif telah membawa Cina pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Saat ini, pembicaraan tentang Cina hampir selalu diliputi oleh rasa khawatir dan bahkan takut akan serbuan produk-produk Cina yang murah, tetapi mempunyai kualitas yang cukup baik. Oleh karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia, melihat kebangkitan Cina dengan rasa cemas. Sekali lagi, ini terjadi karena negara mampu memainkan peran efektif dalam menjaga integritas pasar selalu dalam skala relatif, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada totalitas pasar. 



DAFTAR PUSTAKA



Budi Winarno, 2010. “Melawan Gurita Neoliberalisme”. Jakarta: Penerbit Erlangga
Manfred B Steger, 2004. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta, Lafadl.

Herry B. Priyono, 2003. “Dalam Pusaran Neoliberalisme”. Dalam I. Wibowo dan F. Wahono (eda.) Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

David Harvey, 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book, hal. 5.

Jhon Perkins, 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga”. Jakarta: Ufuk Press, hal. 32.