BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Dalam Globalism, Manfred Steger mengatakan
bahwa neoliberalisme telah menjadi semacam modus operandi dalam pengelolaan ekonomi
dan juga politik. Sementara itu Herry Priyono mengemukakan
bahwa neoliberalisme adalah “isme” yang bagai siluman telah menyusup ke hampir
semua aspek kehidupan kita, tanpa kita sadar atau sempat memikirkannya.
Sejak
era tahun 1980-an, arus besar pemikiran ekonomi politik didominasi oleh apa
yang sekarang kita kenal sebagai neoliberalisme. Awalnya di Inggris dan Amerika
Serikat, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Neoliberalisme, sebagai sebuah
aliran ekonomi-politik, mempunyai pengaruh yang mendalam dalam hampir semua
kehidupan manusia. Oleh karena pengaruhnya sedemikian mendalam dalam
keseluruhan cara berpikir kita, menurut David Harvey,
seolah-olah neoliberalisme telah menjadi suatu common sense. Akibatnya, amat
sering disalahartikan sehingga seorang pejabat publik acapkali menolak
dikatakan sebagai penganut neolib meskipun kebijakan-kebijakan yang di
keluarkannya sangat bercorak neolib.
Secara ringkas, neoliberalisme dapat
dirangkum dalam dua pengertian, yaitu (1) paham/agenda pengaturan masyarakat
yang didasarkan pada dominasi homo-economicus
atas dimensi lain dalam diri manusia (homo
culturalis, zoon politicon, dan lain sebagainya; (2) sebagai kelanjutan
pokok pertama, neoliberalisme juga biasa di maknai sebagai dominasi sector
finansial atas sector riil dalam tata ekonomi politik. Definisi pertama lebih
menunjuk pada “kolonisasi eksternal” homo-economicus
atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas
kehidupan manusia, sedangkan dimensi kedua menunjuk pada “kolonisasi internal” homo finansialis atas
multidimensionalitas homo economicus itu
sendiri. Menurut Priyono, dalam peta persoalan ini, normatif etis yang biasa disebut
“kebaikan bersama” tidak lagi dianggap sebagai tujuan yang secara intensional
dikejar oleh agenda ekonomi-politik (intended
motive), tetapi hanya sebagai hasil sampingan (unintended consequences) kinerja ekonomi politik. Sebaliknya yang
dikejar oleh agenda ekonomi-politik neolib adalah “the accumulation of individual wealth”. Dalam bahasa yang lebih
singkat, neoliberalisme menyangkut “cara-cara kita berinteraksi dalam kegiatan
ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan
satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik
itu persahabatan, keluarga, hukum, tata Negara maupun hubungan internasional.
Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan
hubungan legal, sosial, dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan
menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi ekonomi.
Disini manusia dipahami pertama-tama dan terutama sebagai homo economicus.
1.2
Rumusan Masalah
Dengan sudut pandang filosofi, neoliberalisme telah
men-subordinasi keseluruhan multidimensionalitas manusia. Kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk sosial sebagaimana banyak dianalisis para sosiolog tidak
akan menemukan eksistensinya dibawah hegemoni neoliberal. Ini karena keseluruhan
aktivitas manusia berdasarkan sifat homo
economicus manusia, yang hanya peduli pada persoalan untung rugi sehingga
tak pelak gagasan dan terlebih kebijakan neoliberal adalah keliru. Nah
pertanyaannya kemudian adalah begaimana dampak-dampak hegemoni kebijakan
neoliberal dalam kehidupan public warga Negara?
Dalam mengomentari krisis 1997,
Perkins mengemukakan, “bagi mereka yang mau mendengar, krisis ini mengirimkan sebuah
pesan kuat bahwa niat sejati IMF dan Bank Dunia bukanlah untuk mengelola perekonomian,
melainkan lebih untuk memperkaya korporatokrasi dangan mengorbankan orang
lain”. Kemudian, pada bagian lain, ia mengemukakan, “sudah jelas kami membebani
utang yang jumlahnya begitu mencengangkan (running teks di salah satu stasiun
televisi, TV One, utang Indonesia hingga akhir 2009 kurang lebih 1.500 triliun
rupiah) hingga Negara ini tidak mampu melunasi. Maka, Indonesia dipaksa menebus
utang dengan memuaskan hasrat korporasi kami. Dengan begitu, tujuan kami, para
bandit ekonomi, tercapai.
2.1
NKRI di Era Reformasi: Ancaman Neo Liberalisme
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai tujuan nasional dan
cita-cita kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan para
pendiri negara.
Pasca proklamasi kemerdekaan para pemimpin bangsa
ini, berusaha keras untuk mencapai cita-cita tersebut melalui konsepsi
pembangunan berencana yang bertahap-tahap. Bangsa Indonesia berusaha dengan
keras untuk tegak dan berdiri secara mandiri setelah membebaskan diri dari
penjajahan dan cengkeraman bangsa asing selama berabad-abad.
Ketika tahun 1998 reformasi berkumandang, muncul
berbagi figur elit politik yang menyebut dirinya kaum reformis sekaligus menjadi
komprador kekuatan asing untuk berkuasa kembali di negeri ini secara invisible
dan total.
Dengan isu globalisasi, HAM, demokratisasi dan
lingkungan hidup, kekuatan asing terutama negara adikuasa sebagai pemenang
perang dingin, memulai proses neo-imperialisme, neokapitalisme, neo-liberalisme
sebagai bentuk baru penjajahan di dunia.
Semua negara terutama negara-negara dunia ketiga
termasuk Indonesia menjadi sasaran dengan strategi, taktik, teknik serta metoda
yang lebih canggih termasuk membangun jaringan dengan para komprador dalam
negeri yang terdiri dari para elit yang mereka sebut reformis.
Di era reformasi yang tidak jelas arahnya, bangsa
dan negara Indonesia melalui para elit reformis sedang digiring dan dijebak
untuk “dikuasai dan dijajah kembali”. Fakta tentang tren perkembangan situasi
global dan nasional memperlihatkan sekaligus memperkuat fakta bagaimana
kerasnya kekuatan neo imperialisme, neo kapitalisme dan neo liberalisme
berusaha mencengkeram negara ini, serta bagaimana peranan para elit reformis
sebagai komprador membantu dan mengakomodir konsepsi penjajahan baru tersebut.
Melalui kerjasama Departemen dan LSM, personil asing
terutama dari Amerika Serikat menjadi operator pembuatan berbagai undang-undang
sebagai pelaksana dan tindak lanjut dari perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Produk
perundang-undangan yang dihasilkan meliputi berbagai bidang seperti ekonomi
moneter, hukum, sumber daya alam, politik, pertahanan dan keamanan. Berbagai
produk hukum hasil karya LSM asing yang bekerjasama dengan para komprador di
dalam negeri antara lain:
- Produk
hukum Ellips Project dari USAID.
- Produk
hukum ACIL-ILO dari USAID.
- Produk
hukum PEG dari USAID.
- Produk
hukum PGR dari UNDP.
Berbagai lembaga
yang menjadi jaringan/jembatan organisasi Ellips di Indonesia, antara lain:
- MAPPI,
LEIBB dan lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Indonesia
(Research Institute for Procedural Law and Indonesian Judicial System).
- Kelompok
Kajian Dasar Ilmu Hukum (Study Group on Basic of Legal Science).
- Lembaga
Studi Hukum Ekonomi (Institute for the Study of Law and Economics).
- Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum Pilihan Penyelesaian Sengketa.
- Kelompok
Kajian Hukum Fiskal (Study Group on Fiscal Law).
- Kelompok
Kajian Hak Atas Kekayaan Intelektual (Study Group in the Intelectual Property
Right).
- Lembaga
Kajian Hak Asasi Manusia (Institute for International Human Right Law Studies).
- Lembaga
Kajian Islam, Hukum islam (Research Institute for Islam and Islamic Law
Studies).
- Lembaga
Kajian Pasar Modal dan Keuangan (Institute for Stock Market and Financial
Studies).
- Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (Indonesia Court Monitoring Society).
Berikut adalah orang-orang asing yang menjadi operator
pembuatan undang-undang melalui lembaga Departemen, antara lain:
- Bank
Indonesia: Thomas A. Timberg, penasihat bidang skala kecil dan Susan L. Baker,
konsultan bidang Konstrukturisasi Perbankan.
- Deperindag:
Etephen L. Magiera, ahli Perdagangan Internasional dan Gary Goodpaster, ahli
desentralisasi, internal carriers to trade and local discriminatory action.
- Departemen
Hukum dan HAM : Paul H. Brietzke, legal advisor.
- Kementrian
Usaha kecil dan Menengah Koperasi: Robert C. Rice, ahli small and medium
enterprise.
- Departemen
Keuangan: Arthur J. Mann dan Burden B. Stephen, V. Marks, ahli perpajakan.
- Kementrian
Kominfo: Harry F. Darby, ahli regulasi komunikasi.
- Departemen
Perhubungan: Richard Balenfeld dan Don Frizh, konsultan PEG bidang pelayaran
dan pelabuhan.
Hasil yang telah dicapai jaringan subversi asing dalam
produk undang-undang di Indonesia adalah:
2.1.1
Produk
Hukum yang Dihasilkan oleh Ellips Project:
- UU
No. 5 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- UU
No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
- UU
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
- UU
No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
- UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
- UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
- UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Hak Advocat.
- UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Hak Cipta.
- UU
No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas RUU tentang Pertambangan Mineral dan
Batalyon.
- Draf
akademik yang disiapkan adalah:
a).
RUU Rahasia Negara.
b).
RUU Perintah Transfer Dana.
c).
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.
2.1.2 Produk
hukum yang dihasilkan oleh PEG (Partnership for Economic Growth):
- UU
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Nepotisme.
- UU
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
- UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
- UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- UU
No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- UU
No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan.
- UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
- UU
No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun
2000-2004.
- UU
No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
- UU
No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
- UU
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
- UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
- UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
- UU
No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
- UU
No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia.
- UU
No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
- UU
No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggantin
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
- UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
2.1.3
Produk
hukum yang dihasilkan oleh ACIL-ILO (American for International Labour Solidarity-ILO)
- UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- UU
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2.1.4 Produk hukum yang dihasilkan oleh PGR (Partnership for Government
Reform):
- UU
No. 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
- UU
No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
- UU
No. 37 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan.
- UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif.
- UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- UU
No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
- UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU
No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
- UU
No. 18 Tahun 2003 Advokat.
- UU
No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
- UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
- UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- UU
No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
- UU
No. 8 Tahun 2004 tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum.
- UU
No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang peradilan Tata Usaha Negara.
- UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
- UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
2.2
Restorasi Meiji, Revolusi Zhu Rongji Dan Reformasi
NKRI.
“Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan
berkata: apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong
sudah menjarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah dipasar
dan jalan raya.”
Pembaharuan, perubahan, perbaikan, pembenahan, penyempurnaan, adalah
keniscayaan dari gerak zaman di setiap ruas peradaban manusia. Di setiap
belahan dunia, setiap komunitas, setiap umat, bangsa dan negara. Ia bisa
terangkum dalam nama restorasi, revolusi atau reformasi, semua memuat totalitas
makna pembaharuan, gerak hijrah-perpindahan dari kegelapan menuju terang, dari
dari keterpurukan menuju kekokohan. Renaissance, lahir kembali.
Reinkarnasi, menitis lagi.
2.2.1
Restorasi
Meiji, Jepang (1868)
Gelombang pembaharuan terbesar dalam sejarah negeri matahari terbit.
Masa pencerahan sebuah bangsa yang terkungkung dalam kegelapan tiran
pemerintahan diktator militer feodalisme korup Tokugawa Ieyashu tahun 1600.
Kaisar Meiji menjadi figur sentral restorasi yang membawa perubahan
besar-besaran struktur politik dan sosial Jepang.
Kata Meiji sendiri berarti kekuasaan
pencerahan dan pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan “kemajuan
Barat” dengan nilai-nilai “Timur” tradisional. Restorasi Meiji, Meiji
Ishin, Revolusi Meiji, atau Pembaruan Meiji menjadi
titik tolak bangsa Jepang untuk menjadi negara modern berkeunggulan-keadaban,
gerbang pembebasan setelah 265 tahun terisolasi dari dunia luar, di bawah 15
generasi keshogunan Tokugawa.
Kegemilangan restorasi Meiji tak lepas dari peran besar para ksatria
Jepang para prajurit samurai, yang dengan spirit “berani mati bushido”
berkolaborasi bersama rakyat hendak memperjuangkan kembali kekuasaan yang absah
ke tangan kaisar. “Sonnō jōi!” (Dukung kaisar, usir barbar!),
perjuangan aliansi pro-kaisar membuahkan hasil.
3 Januari 1869 menjadi tonggak bersejarah dari restorasi, ketika Kaisar
mengeluarkan deklarasi formal tentang pengembalian kekuasaan ke tangannya:
“Mulai
saat ini kami akan melaksanakan kekuasaan tertinggi untuk urusan-urusan dalam
dan luar negeri dari negara ini. Maka dari itu, semua penyebutan Taikun dalam
perjanjian-perjanjian yang telah dibuat harus diganti dengan perkataan Kaisar.
Para pejabat sedang ditunjuk oleh kami untuk melaksanakan urusan-urusan luar
negeri. Perwakilan-perwakilan dari negara-negara penandatangan traktat
hendaknya memaklumi pengumuman ini.”
Alhasil, dalam kurun waktu kurang dari 4 dekade, Restorasi Meiji sukses
mengakselerasi industrialisasi di Jepang yang dijadikan modal untuk
kebangkitan Jepang sebagai kekuatan militer pada tahun 1905 di bawah slogan
“Negara Makmur, Militer Kuat” (fukoke kyohei).
Restorasi Meiji, dengan semangat bushido samurai khas ksatria Jepang,
negara ini mampu merevolusi feodalisme korup yang telah berlangsung 265 tahun
dan kini menjadi negara maju dalam industri dan perkasa dalam ekonomi di arena
dunia.
2.2.2 Revolusi Zhu Rongji, Cina (1998)
Di awal kepemimpinan, Perdana Menteri Zhu Rongji berpidato:
”Beri saya 100 peti mati dan saya akan mengubur 99 koruptor di negara
ini, satu lagi akan saya pakai jika saya juga korupsi.''
Kata-kata diatas bukan sekedar sumpah sampah, ikrar asal koar atau
slogan kosong. Ribuan bahkan puluhan ribu orang di China telah dihukum mati
sejak tahun 2001 karena terbukti melakukan berbagai kejahatan, termasuk
korupsi. Tercatat setidaknya ada 7 contoh pejabat publik yang benar-benar masuk
peti mati dieksekusi karena kasus korupsi.
Mereka adalah Cheng Kejie (pejabat tinggi Partai Komunis Cina sekaligus
Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional), Hu Changging (Wakil Gubernur Provinsi
Jiangxi), Xiao Hongbo (Deputi Manajer Cabang Bank Konstruksi China), Xu Maiyong
(mantan Wakil Walikota Hangzho), Jiang Renjie (mantan Wakil Walikota Suzhou),
Li Yushu (Wakil Wali Kota Leshan), dan Zhou Liangluo (mantan kepala distrik
Haidan, Beijing).
Pada 1999 saja, tercatat 1.263 koruptor dieksekusi. Jumlah ini melejit
menjadi 4.367 orang pada 2001. Tidak hanya itu, puluhan ribu polisi dipecat
karena menerima suap, berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas dan
kualitas di bawah standar. Hasilnya, menurut Transparency International, China
yang tadinya berlabel negara terkorup, pada 2007 berada di urutan 64.
Sebab pejabat takut untuk korupsi, pertumbuhan ekonomi China mencapai 9%
per tahun dengan PDB melonjak tinggi dan cadangan devisa negara lebih dari 300
miliar USD. China pun tumbuh menjadi menjadi salah satu kekuatan raksasa
ekonomi dunia. Sumpah yang telah mengubah wajah China dari negara penuh korupsi
menjadi negeri yang minim penyelewengan.
Hukuman mati yang diterapkan 'Negeri Tirai Bambu' terhadap para koruptor
hanyalah salah contoh betapa seriusnya mereka memerangi penyimpangan. Aktivis
hak asasi manusia (HAM) memang gencar mengecam, tetapi mereka bergeming. Ibarat
anjing menggonggong kafilah berlalu, China jalan terus. Pantang surut karena
memang dianggap prorakyat. Soal law enforcement, China memang
bisa dijadikan contoh. Di negara komunis ini, peraturan adalah peraturan.
Lurus, tidak bisa dibengkokkan oleh kekuasaan atau uang.
2.2.3
Reformasi NKRI (1998)
Gong reformasi ditabuh. Suara
pembaharuan rakyat, tokoh masyarakat dan mahasiswa menggema. Euforia kebebasan
massa setelah tiga puluh tahun terkungkung dalam tiran meluap menggelora, bagai
air tumpah dari bendungan besar. Rezim orde baru tumbang, The Smiling General
Soeharto lengser keprabon tanpa sempat persiapan.
Udara kemerdekaan yang
dinanti-nantikan rakyat, harus ditebus dengan nyawa ribuan anak bangsa. Rakyat
selalu jadi korban perubahan zaman, tumbal wajib setiap permainan kekuasaan.
Perjuangan selalu membutuhkan bergalon- galon keringat, darah dan air mata.
Rakyat kecil tak peduli, apapun dikorbankan dengan kepolosan khas tetap setia
menjadi martir bagi perjuangan bangsa. Perubahan, perbaikan, pembaharuan.
Namun reformasi NKRI
hanya sambel terasi. 14 tahun berlalu, sayup-sayup gaung suara itu
makin menghilang. Nyaris tak lagi terdengar, lenyap, senyap, sepi ditelan hari.
Gelombang harapan yang dulu menggunung kini telah kandas, tinggal buih-buih dan
riak kecil di tepian. Senada dan seirama dengan nasib sebagai penghuni wilayah
tepian, kaum pinggiran. Harta, nyawa dan kebersamaan anak bangsa yang sempat
terguncang gagal ditebus dengan harga yang layak dan sepadan. Kesia-siaan yang
terulang, sudah kebiasaan, potret sejarah bangsa yang gagal mental.
Orde kolonialisme, orde lama,
orde baru dan orde reformasi, rakyat kecil selalu saja disuguhi menu
istimewa, sambel
terasi. Panas, sedap dan pedas
berkobar saat mengunyah perjuangan, tapi rasa nikmatnya segera menghilang
beberapa saat setelah kemenangan diproklamirkan. Perut-perut kecil kembali
menahan lapar, justru mulas yang didapat. Sebab porsi nasi yang seharusnya
dibagi dengan adil dan merata, habis ditelan mulut-mulut lebar para raksasa.
Jatah kurcaci selalu cuma sisa-sisa, dan yang pasti, sambel terasi abadi.
Di mana sekarang sang tokoh
sentral penggerak reformasi, sang
reformis Amien Rais yang dengan ikon KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) berhasil mengikat energi
mahasiswa dan rakyat untuk bersatu menggulirkan perubahan? Quo
vadis Amien Rais? Di mana 10 wajah pada
pagi 19 Mei 1998 yang meminta Pak Harto mundur? Ada K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid (Cak Nur), Ali Yafie, Prof Malik
Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, K.H. Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan
Ma'ruf Amin.
Dua dari tokoh reformasi telah
tiada, Gus Dur dan Cak Nur. Amien Rais bahkan telah putus asa, “reformasi telah
mati sebelum tumbuh.” Sisanya, sibuk dengan urusan masing-masing, dan entah ke
mana lainnya, sebab suaranya kini tak terdengar lagi. Bangsa ini krisis
kepemimpinan. Maka reformasi galat, alias gagal alat. Potret buram dari bangsa
gagal mental. Korupsi makin menemukan performa terbaiknya. Wilayah korupsi yang
semula hanya terbatas eksklusif dai kalangan pejabat-birokrat-pemimpin, pasca
reformasi justru menyebar luas ke seluruh lini, aspek, segi, strata, kasta,
lintas ruang dimensi.
Korupsi menjadi wabah endemik-sistemik-sistematik
akut. Evolusi sempurna gurita
korupsi, dengan delapan
tentakelnya menjerat leher bumi pertiwi di delapan arah mata angin. Ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan. Karupsi
massal nasional, gelap-gelapan dan terang-terangan, munfaridh dan berjama’ah.
Berkaca dari restorasi Meiji
Jepang 1868 dan revolusi Zhu Rongji China 1998, ada satu hal yang menjadi
sumber utama reformasi NKRI yang terlunta-lunta. Syamsudin Haris dari LIPI
mengemukakan, krisis kepemimpinan saat ini merupakan mata rantai krisis
nasional yang tak kunjung putus sejak reformasi. Setidaknya terdapat empat mata
rantai krisis nasional pasca reformasi, yakni akumulasi permasalahan pada rezim
Orde Baru, gagalnya konsolidasi kekuatan politik sipil pada reformasi 1998,
reformasi institusional yang tambal sulam, dan inkonsistensi paket UU bidang
politik.
Indonesia, Jepang dan Cina
sesungguhnya memiliki sejarah dan latar belakang bangsa yang sebenarnya
tak jauh berbeda, terlebih sebagai sesama bangsa rumpun Asia. Tapi kita gagal
mengikuti jejak langkah dan kesuksesan negeri tetangga. Kita gagal merombak
struktur politik, sosial dan budaya secara menyeluruh dengan semangat
juang prawira-ksatria-mujahid khas Indonesia seperti
halnya semangat bushido dan filosofi samurai khas
Jepang, atau spirit keteladanan kepemimpinan khas China ala Zhu Rongji.
China melangkah dalam waktu
yang sama dengan kita, 1998, namun realita yang ada sungguh jah berbeda.
Apalagi dibandingkan dengan Jepang yang sudah melewati waktu hampir 150 tahun.
Jika tak bisa belajar dari kesuksesan restorasi Meiji yang melibatkan sinergi
trilogi peran ksatria-bangsawan, rakyat dan pemimpin (kaisar), mungkin kita
bisa belajar dari kesuksesan China yang digerakkan keteladanan pemimpin
tertinggi Perdana Menteri Zhu Rongji melalui peti mati.
Yang pasti, restorasi,
revolusi, reformasi, semuanya bertujuan sama, perubahan,
pembarauan, perbaikan total. Jika bangsa ini masih belum juga bisa
menangkap pelajaran berharga dari negeri tetangga, sepertinya semua harus
bersabar menunggu sampai tahun 2160-an, 150 tahun lagi atau lebih lama untuk
mengikuti jejak Jepang atau China. Permasalahannya, sudahkah kita menyadari
bahwa sejatinya kita sebagai bangsa belum memulai langkah nyata di hari ini?
3.1 Kesimpulan
Di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi sekarang ini, yang
ditengarai oleh pasar bebas dan persaingan yang ketat, sekaligus mematikan,
sebuah negara-bangsa (a nation-state) harus kuat dan tangguh vis-a-vis kekuatan-kekuatan pasar yang
di dukung oleh lembaga-lembaga governance
global sehingga mampu melakukan perannya yang efektif dalam pembangunan
ekonomi yang mandiri. Ini sangat penting untuk mencapai dua tujuan sekaligus. Pertama, negara bisa memberikan
kesejahteraan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Kedua, negara bisa melindungi dan menjaga harkat dan martabat para
warga negaranya. Sebaliknya, jika sebuah negara-bangsa sangat lemah dan
inferior, bisa dipastikan negara-bangsa tersebut akan menjadi pecundang
sehingga tidak mempunyai kebebasan bertindak dalam pembangunan ekonomi yang
bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Padahal sejak awal negara didirikan,
negara mempunyai tujuan pokok yang diembannya, yaitu menjaga eksistensinya dan
melindungi warga negaranya dalam pengertian yang luas, termasuk memberikan
kesejahteraan sosial dan ekonomi.
3.2 Saran
Cina dan Jepang telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai bagaimana seharusnya negara
mampu bertindak dan berperan dalam ekonomi politik global sekarang ini.
Kemampuan negara untuk melakukan intervensi secara efektif telah membawa Cina
pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Saat ini, pembicaraan tentang Cina
hampir selalu diliputi oleh rasa khawatir dan bahkan takut akan serbuan
produk-produk Cina yang murah, tetapi mempunyai kualitas yang cukup baik. Oleh
karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia, melihat kebangkitan Cina dengan
rasa cemas. Sekali lagi, ini terjadi karena negara mampu memainkan peran
efektif dalam menjaga integritas pasar selalu dalam skala relatif, yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada
totalitas pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Winarno, 2010. “Melawan
Gurita Neoliberalisme”. Jakarta: Penerbit Erlangga